TURUT BERDUKA CITA ATAS TEWASNYA MANTAN PERDANA MENTERI PAKISTAN BENAZIR BHUTTO AKIBAT TEMBAKAN DAN SERANGAN BOM BUNUH DIRI DI RAWALPINDI PADA 27 DES 2007. BENAZIR BHUTTO ADALAH SIMBOL MODERNITAS DAN DEMOKRASI DI PAKISTAN. KAMI RAKYAT INDONESIA MENGUTUK KERAS AKSI TEROR TERSEBUT.

Malaysia's Trial of the Century

Menguak Skandal Seks Seorang Petinggi Malaysia

Takut skandal seksnya terungkap. Seorang petinggi Malaysia tega membunuh model asal Mongolia. Altantuya Shaariibuu tewas setelah ditembak dua kali di bagian kepala. Kemudian untuk menghilangkan jejak, mayatnya diledakkan dengan C4, dan potongan tubuhnya ditemukan di kawasan hutan di distrik Shah Alam, November 2006.
Ikuti kisahnya yang di tulis oleh Time dan Kompas



Foto: Malaysian political analyst Abdul Razak Baginda is escorted to the courthouse in Shah Alam outside Kuala Lumpur, Malaysia, June 4, 2007.Ahmad Yusni / EPA



Malaysia's Trial of the Century
By Hannah Beech
Time: 16 Juli 2007, page 32

A Mongolian part-time model whose naked body was allegedly blown up by military-grade explosives. A former political advisor to Malaysia's Deputy Prime Minister charged with abetting the murder of his ex-lover. Two government security agents whom the prosecution alleges carried out the killing of the 28-year-old Mongolian woman. A loyal wife who, despite allegations of her husband's involvement in the plot, has worn a T-shirt to the murder trial that says "Mrs. Abdul Razak Baginda" on the front, "and proud of it" on the back. Welcome to what may be the most sensational case in an Asian courtroom today.


Malaysia, a tidy Southeast Asian nation that is often held up as a model of a Muslim-majority democracy, doesn't usually play host to a murder trial that seems better suited to an episode of The Sopranos. But the political implications of the death of model-turned-interpreter Altantuya Shaariibuu last October have riveted this country of 25 million, leading some to doubt the succession hopes of the current Deputy Prime Minister. For others, the trial, which opened on June 18, will serve as a bellwether of the integrity of Malaysia's legal system and its burgeoning press. Last fall, several local journalists were detained after covering the case but were later released. Since then, the local newspapers have reported the minutiae of the case in increasingly scandalous detail.


The story begins in 2004 when a polished Malaysian think-tank director named Abdul Razak Baginda met the comely Shaariibuu at a gala in Hong Kong. A married father, Abdul Razak, now 47, had been educated in Britain and had written several books on Malaysia's political economy. He and Shaariibuu began a romantic relationship, meeting up for secret liaisons across Asia. Eight months later, Abdul Razak broke off the affair, according to the prosecution and a court affidavit filed by him. Abdul Razak alleges that Shaariibuu then began blackmailing him, presumably threatening to make their relationship public if he did not pay up.

By the spring of 2006, however, Abdul Razak says he stopped sending money. Shaaribuu traveled to the Malaysian capital Kuala Lumpur in October 2006. In the affidavit, Razak says that after the Mongolian showed up in town, he confided in a high-level security officer who worked for Deputy Prime Minister Najib Razak. Then, on October 19, according to Razak's affidavit, the think-tank head called a police officer associated with a high-level unit that provided security for top Malaysian leaders to tell him that Shaariibuu was standing outside the gate of his house, a car with three police agents pulled up and took the Mongolian woman away. Several witnesses saw Shaariibuu entering the vehicle. That was the last Abdul Razak says he ever saw of his former paramour.

Abdul Razak, who was later charged with abetting murder, has pleaded not guilty. For their part the two policemen charged with carrying out the murder have also pleaded not guilty. Shaariibuu's burned remains were found in a jungle outside Kuala Lumpur on November 6. All three could face the death penalty if convicted.

Widespread scrutiny of Malaysia's court system arose nearly a decade ago when former Deputy Prime Minister Anwar Ibrahim was convicted of sodomy and abuse of power, a ruling condemned by human-rights groups. Already, hints of legal impropriety have stained this case. The original lead prosecutor was removed from his position after it became known that he often played badminton with the presiding judge.

There has been press speculation in Malaysia and abroad that the case may affect Deputy Prime Minister Najib Razak, a friend and associate of Abdul Razak. That is not yet clear. Heir-apparent Najib has denied any involvement in the case, and no evidence whatsoever has emerged linking him with the woman's death. Malaysian Prime Minister Abdullah Ahmad Badawi has promised that politics will not influence the outcome of the trial. But any link to such a lurid murder can't be good news for Malaysia's ruling party. The case will likely continue over the next couple months, just as the southeast Asian nation celebrates 50 years of independence. With local newspapers covering the case with unprecedented enthusiasm, Malaysians can look forward to a most salacious summer.
***

Skandal. WANITA YANG HEBOHKAN MALAYSIA
KOMPAS - Rabu, 06 Jun 2007

Malaysia kembali dihebohkan dengan sidang pengadilan yang melibatkan figur politik terkemuka. Pengadilan itu bisa menjadi lebih dari sekadar sidang kasus pembunuhan biasa karena aroma politik yang kental.

Sidang kasus pembunuhan terhadap seorang perempuan Mongolia, Altantuya Shaariibuu (28), yang diduga dilakukan Abdul Razak Baginda (47), orang dekat Wakil Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, seharusnya dimulai hari Senin (4/6) lalu. Namun, sidang itu ditunda hingga 18 Juni karena mendadak hakim mengganti tim jaksa penuntut
umum.

Oposisi di Malaysia langsung mengecam penundaan sidang dan mengatakan langkah itu sarat motif politik. Menurut Sekretaris Jenderal Partai Aksi Demokratik Lim Guan Eng, penundaan itu mencerminkan kurangnya profesionalisme dan sikap tidak hormat kepada pengadilan.

Sidang kasus pembunuhan itu merupakan sidang paling sensasional setelah persidangan mantan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim, hampir 10 tahun lalu. Proses pengadilan soal isu ini sangat ditunggu-tunggu rakyat Malaysia.

Dalam laporan yang diturunkan International Herald Tribune, 1 Juni lalu, rakyat Malaysia berharap pertanyaan mendasar tetapi penting bisa terjawab, yaitu siapa yang berada di balik pembunuhan Shaariibuu dan mengapa pembunuhan itu terjadi?

Seperti halnya sidang Anwar, pembunuhan Shaariibuu mencuatkan isu soal transparansi, kredibilitas pengadilan, dan praktik kerja kepolisian Malaysia.

Dibunuh penerjemah
Sejak potongan mayatnya ditemukan di kawasan hutan di luar kota Kuala Lumpur, November 2006, pembunuhan misterius Shaariibuu, seorang model paruh waktu asal Mongolia, telah menarik perhatian elite politik Malaysia. Tidak lain karena jaksa penuntut umum mengatakan dia dibunuh atas perintah orang kedua paling berkuasa di Malaysia.

Shaariibuu, yang diakui sebagai kekasih Baginda, tewas setelah ditembak dua kali di kepala, Oktober 2006. Mayatnya kemudian diledakkan dengan bahan peledak. Baginda, yang merupakan anggota Pusat Penelitian Strategis Malaysia, dan dua pengawal pribadi, Azilah Hadri dan Sirul Azhar Umar, yang merupakan anggota unit elite pengawal pejabat tinggi, dituduh melakukan pembunuhan itu.

Masyarakat Malaysia berspekulasi apakah pembunuhan itu akibat pertengkaran antarkekasih belaka, atau bagian dari praktik terselubung yang melibatkan pejabat tingkat tinggi.

Terkait pembelian kapal
Pengacara Zulkifli Noordin, yang mewakili Hadri, mengatakan, akan menyelidiki peran Shaariibuu dalam pembelian kapal selam Perancis pada 2002. "Dia (Shaariibuu) mungkin terlibat sebagai penerjemah dalam perjanjian senjata antara perusahaan Perancis dengan Kementerian Pertahanan," ujarnya.

Di luar ruang sidang, sejumlah analis mengatakan, kasus dan persidangan itu menjadi ajang perebutan jabatan politik penting di Malaysia. Tampaknya, kasus itu menyalakan kembali api persaingan antara Najib dan Anwar untuk memperebutkan jabatan PM Malaysia.

Anwar mendesak penyelidikan lebih dalam mengenai pembelian kapal selam Perancis. Ia juga menyerukan agar sidang dan penyelidikan berjalan adil. "Kasus ini merupakan kasus internasional dan tidak hanya soal pembunuhan Altantuya, tetapi juga pertaruhan sistem pengadilan," kata Anwar.(ap/afp/fro)

***

OPOSISI MALAYSIA TUNTUT PENJELASAN DARI WAKIL PM
Model Mongolia Pernah Makan Bareng Najib Razak

Sumber: Rabu, 11 Jul 2007 Halaman: 9 Penulis: fro Ukuran: 4057

Kuala Lumpur, Selasa
Anggota partai oposisi Malaysia meminta Wakil Perdana Menteri Najib Razak menjelaskan keterlibatannya dalam kasus pembunuhan model Mongolia, Altantuya Shaariibuu, 19 Oktober 2006. Razak dekat dengan penasihat politik Abdul Razak Baginda, salah satu tersangka pembunuhan.

Belum lama ini, Kepala Bidang Informasi Partai Keadilan Rakyat Tian Chua memasang sebuah foto Razak yang tengah duduk bersama Baginda dan Altantuya di blog pribadinya. Chua mengakui foto itu telah direkayasa, tetapi dia tidak bersedia meminta maaf dan tak mau mencabut foto tersebut.

"Foto ini memang hanya imajinasi saya. Maksudnya memang untuk memaksa Najib menjelaskan keterkaitannya dalam kasus pembunuhan. Saya tidak akan mencabut foto itu atau meminta maaf," kata Chua, Selasa (10/7).

Foto tersebut muncul di blog Chua pada 2 Juli setelah keponakan Altantuya, Burmaa Oyunchimeg, bersaksi bahwa dia pernah melihat foto Altantuya makan bersama Baginda dan "seorang pejabat Pemerintah Malaysia".

Burmaa tidak mengidentifikasi pejabat itu sebagai Razak, tetapi dia mengatakan, Altantuya pernah memberitahunya bahwa pejabat itu bernama Najib Razak.

Razak membantah keras keterlibatan apa pun dalam kasus tersebut. Karena itu, Chua mengatakan akan terus melanjutkan aksinya di internet. "Saya ingin otoritas menangani kasus ini secara transparan dan Najib harus mengakui hubungannya dengan Altantuya," ujarnya.

Jaksa penuntut mengatakan, Baginda merencanakan pembunuhan Altantuya dan memerintahkan dua anggota Unit Tindakan Khusus (UTK) Kepolisian Malaysia, Azilah Hadri dan Sirul Azhar Umar, untuk membunuh model tersebut. Diduga, Altantuya dibunuh terkait perannya dalam pembelian kapal selam Perancis tahun 2002 antara perusahaan Perancis dan Kementerian Pertahanan yang diisukan terkait dengan suap-menyuap. Altantuya berperan sebagai penerjemah dalam perjanjian tersebut karena kemampuannya berbahasa Perancis.

Altantuya tewas setelah ditembak dua kali di bagian kepala. Mayatnya kemudian diledakkan dan potongan tubuhnya ditemukan di kawasan hutan di distrik Shah Alam, November 2006.

Ditolak
Pengadilan Malaysia, Rabu, menolak pengakuan Sirul, salah satu tersangka, karena dibuat di bawah paksaan Mastor Mohamad Ariff, Wakil Komandan UTK. Pengakuan itu tidak bisa dijadikan bukti di pengadilan.

"Berdasarkan fakta dalam kasus ini, tampak jelas adanya paksaan dalam upaya mendapatkan pengakuan," kata Hakim Mohammed Zaki Mohammed Yasin. "Karena itu, pengadilan memutuskan bahwa pengakuan itu tidak dibuat secara sukarela. Oleh karena itu, pengakuan ini tidak akan diterima sebagai bukti di pengadilan," ujarnya.

Pengacara Sirul, Kamarul Hisham Kamaruddin, mengatakan, pengakuan Sirul dibuat dalam situasi penuh tekanan sehingga tidak bisa digunakan sebagai buktiapa pun. "Sirul berada dalam kondisi sangat kebingungan akibat kegelisahan mental yang berat," kata Kamarul.

Dia menambahkan, Mastor mengintimidasi Sirul untuk membuat pengakuan tersebut. "Sirul benar-benar sedang kebingungan," kata Kamarul.

Dalam kesaksian di pengadilan, Mastor menuturkan, dia diperintahkan untuk menjemput Sirul dari Pakistan, di mana dia ditugasi untuk mengawal PM Abdullah Ahmad Badawi. Dia duduk di sebelah Sirul selama penerbangan dari Pakistan ke Malaysia dan memberi tahu bahwa Azilah telah mengakui pembunuhan.

"Saya mengatakan kepada Sirul bahwa kasus itu telah diketahui publik dan tidak ada yang perlu disembunyikan. Dia tampak gugup dan gemetar," ujar Mastor.

Namun, Sirul bersaksi bahwa Mastor berulang kali menanyai dia tentang tuduhan pembunuhan itu dan suara Mastor terdengar menakutkan. Pembunuhan Altantuya dinilai berbagai pihak sarat kepentingan politik. Pengadilan kasus tersebut juga dilihat sebagai ujian bagi transparansi sistem pengadilan Malaysia.(afp/fro)

Tidak ada komentar:



VISIT INDONESIA 2008
celebrating 100 years of nation's awakening