DEMOKRASI YANG (KIAN) TERBELENGGU...
Sumber: Kompas - Sabtu, 22 Sep 2007 Halaman: 41
Berbicara soal demokrasi Malaysia, sejumlah rakyat Malaysia yang ditemui di sekitar Bukit Bintang, kawasan perdagangan terkenal di Kuala Lumpur, mengakui, kalaulah ada sesuatu yang "cacat" dalam pembangunan Malaysia,demokrasilah jawabannya.
Nasharudin Mat Isa, Wakil Presiden Partai Islam Se-Malaysia (PAS), partai yang beroposisi terhadap pemerintah, mengungkapkan, terlalu banyak hambatan peraturan atau undang-undang yang membuat demokrasi sulit berkembang di Malaysia.
"Memang, pembangunan fisik maju. Namun, kemajuan suatu bangsa itu tak boleh diukur hanya dari pembangunan fisik. Bagi saya, kemajuan suatu bangsa juga harus dilihat dari sejauh mana rakyat diperbolehkan benar-benar menyampaikan pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikirannya," ungkapnya.
Sumber: Kompas - Sabtu, 22 Sep 2007 Halaman: 41
Berbicara soal demokrasi Malaysia, sejumlah rakyat Malaysia yang ditemui di sekitar Bukit Bintang, kawasan perdagangan terkenal di Kuala Lumpur, mengakui, kalaulah ada sesuatu yang "cacat" dalam pembangunan Malaysia,demokrasilah jawabannya.
Nasharudin Mat Isa, Wakil Presiden Partai Islam Se-Malaysia (PAS), partai yang beroposisi terhadap pemerintah, mengungkapkan, terlalu banyak hambatan peraturan atau undang-undang yang membuat demokrasi sulit berkembang di Malaysia.
"Memang, pembangunan fisik maju. Namun, kemajuan suatu bangsa itu tak boleh diukur hanya dari pembangunan fisik. Bagi saya, kemajuan suatu bangsa juga harus dilihat dari sejauh mana rakyat diperbolehkan benar-benar menyampaikan pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikirannya," ungkapnya.
Pandangan senada juga disampaikan juru bicara Partai Keadilan Rakyat (PKR) Tian Chua, anggota parlemen sekaligus Wakil Sekjen Partai Aksi Demokrasi (DAP) Chong Eng, maupun Direktur Eksekutif Suara Rakyat Malaysia (Suaram) Yap Swee Seng, dan Prof Dr Subramaniam Pillay dari Aliran Kesadaran Nasional.
Suaram, NGO Malaysia yang memfokuskan diri pada isu-isu hak asasi manusia (HAM) dan demokratisasi, malah menyampaikan bahwa pembelengguan terhadap demokrasi dan HAM itu dilakukan cukup sistematis sejak kemerdekaan Malaysia dari Inggris pada 1957. Akibatnya, selama 50 tahun kemerdekaannya, hak-hak konstitusional rakyat yang sebetulnya tercantum pada konstitusi awal Malaysia tahun 1957 semakin lama semakin dilemahkan.
"Dalam 50 tahun terakhir, konstitusi federal itu telah diamandemen beberapa kali sehingga sekarang ini sulit melihat lagi konstitusi aslinya. Amandemen-amandemen itu sangat menghambat penerapan demokrasi dan sangat membatasi hak-hak dasar rakyat. Kecenderungannya jelas semakin menurun," papar Yap Swee Seng, peraih gelar master di bidang HAM dari University of Essex, Inggris.
Harus izin
Memang, seperti disampaikan juga oleh para politisi dari oposisi, ada banyak sekali peraturan perundangan di Malaysia yang sering digunakan pihak penguasa sehingga membuat ruang demokrasi menjadi amat terbatas. Peraturan-peraturan itu antara lain Internal Security Act (ISA) 1960, Public Order (Preservation) Act 1958, Prevention of Crime Act 1959, Emergency (Public Order and Prevention of Crime) Ordinance 1969, Emergency (Essential Power) Ordinance 1970, Essential (Security Cases) Regulations 1975, Dangerous Drugs (Special Preventive Measures) Act 1985, Printing Presses and Publication Act 1984, Sedition Act 1948, Official Secrets Act 1972.
Adanya berbagai peraturan itu praktis membuat kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, kebebasan berkumpul dan berorganisasi, kebebasan pers amat terbelenggu. Pasalnya, hampir semua bentuk kegiatan yang dilakukan masyarakat harus dibekali dengan izin dari pemerintah melalui kepolisian. Dalam pemberian izin itu, seperti disampaikan oleh PAS, PKR, maupun DAP, partai oposisi sulit sekali mendapatkannya sehingga gerakan oposisi memang sulit
berkembang di Malaysia.
"Dulu, pada tahun 1960-an, ceramah-ceramah umum masih boleh kami lakukan. Pada waktu Malaysia bermasalah dengan Indonesia, tahun 1960-an,ceramah umum dikatakan dilarang untuk sementara waktu, dan bila keadaan sudah pulih dijanjikan akan dibolehkan lagi. Namun, sampai saat ini tidak boleh. Untuk mendapatkan izinnya sangat susah," ungkap Chong Eng.
Kondisi ini diperparah oleh tiadanya kebebasan pers, yang membuat kalangan oposisi tidak punya saluran untuk menyuarakan pendapat dan pandangan-pandangannya, serta apa pun yang mereka perjuangkan kepada rakyat Malaysia. Media massa di Malaysia, seperti disampaikan oleh Pillay, Yap Swee Seng, Mat Isa, maupun Tian Chua, hampir semuanya dimiliki oleh tokoh-tokoh Barisan Nasional (Gabungan partai-partai UMNO (Melayu), MCA (China), MIC (India) dan beberapa partai kecil lainnya).
"Kini pemerintah secara terang-terangan memberitahukan kepada media hal-hal apa saja yang tidak boleh disiarkan. Yang media boleh laporkan adalah apa yang disampaikan perdana menteri dan wakilnya. Hanya mereka yang boleh bersuara atas perkara-perkara tertentu, seperti misalnya Malaysia ini negara Islam atau tidak. Ini jelas menunjukkan kemunduran Malaysia," ujar Chong Eng menambahkan.
Penyebabnya, kata Wakil Sekjen DAP itu, pemerintah takut akan kehilangan dukungan rakyat jika rakyat sampai tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Kami selalu mempersoalkannya di dalam parlemen, tetapi itu pun susah sampai kepada rakyat karena di media tidak ada informasi mengenai kegiatan-kegiatan kami. Situs di internet memang ada, tetapi pembacanya sangat terbatas dan sekarang pun dihambat pula," paparnya.
Aktivis Suaram menengarai, semua aturan itu digunakan pemerintah untuk melindungi kepentingan ekonomi sekelompok kecil elite, khususnya praktik-praktik korupsi di pemerintahan.
Belenggu ISA
Berbagai belenggu terhadap demokrasi di Malaysia sesungguhnya telah pula disuarakan Suruhan Jaya Hak Asasi Manusia Malaysia (Suhakam), lembaga HAM resmi bentukan pemerintah. Secara khusus Suhakam telah melakukan peninjauan atas sejumlah peraturan yang membelenggu hak-hak demokrasi rakyat, seperti Internal Security Act (1960).
Banyak sekali usulan perubahan yang diajukan, tetapi karena kewenangan Suhakam hanya sebatas memberikan rekomendasi, usulan-usulan itu tidak banyak mengubah potret demokrasi di Malaysia.
"Ini sangat ironis karena kita melecehkan kemerdekaan itu selama bertahun-tahun. Kita merdeka dari Inggris, tetapi kita tetap menggunakan aturan-aturan Inggris yang memasung kemerdekaan rakyat, yang digunakan Inggris untuk menekan warga. Karena itulah kami mempertanyakan, apakah kita benar-benar sudah merdeka?" ungkap Yap Swee Seng.
Dalam catatan Suaram, sejak diberlakukan tahun 1960 sampai Desember 2006, ISA telah sangat efektif digunakan untuk menangkap 10.687 orang, dan yang 4.350 orang kemudian dikenakan perintah penahanan, serta 2.090 lainnya dikenai perintah pembatasan aktivitas.
Berbagai peraturan yang membelenggu itu semakin lengkap lagi dengan potret dunia peradilan Malaysia yang disampaikan kalangan ornop maupun aktivis politik, tidak lagi independen bahkan telah menjadi subordinat dari pemerintah. Hal ini diperkuat lagi dengan kewenangan polisi yang teramat besar dan nyaris tanpa kontrol.
Tian Chua menguraikan, Malaysia sebenarnya mujur memulai negara merdeka dengan sistem yang sudah lebih baik dibandingkan dengan negara-negara tetangganya yang merdeka melalui revolusi. Malaysia tidak harus membangun struktur pemerintahan karena semua sudah diserahkan oleh penjajah Inggris. Malaysia ditinggalkan Inggris secara aman dan sistem perundangan tidak terganggu sehingga sejak semula Malaysia mengamalkan satu budaya Inggris yang independen dan pegawai negerinya tidak banyak dicemari oleh politik.
Namun, akhir-akhir ini, sistem yang lain itu kian hari kian diinfiltrasi oleh kekuasaan tunggal sehingga merusak check and balance yang ada. Ini semakin nyata pada masa 1980-an ketika industrialisasi didorong dengan cara memotong prosedur birokrasi yang lama sehingga check and balance pun mulaitidak jalan.
"Industrialisasi ketika itu juga tidak menghormati sistem perundangan negara sehingga merusak sistem check and balance dan sampai saat ini hal itu tidak bisa dipulihkan. Judicial semakin hari semakin dikuasai pemerintah," papar Tian Chua sambil mencontohkan kasus polisi yang memukul juri karate asal Indonesia, yang kasusnya tidak dibawa ke kehakiman.
"Kalau kasus ini dibawa ke pengadilan, mungkin akan lebih memalukan karena akan terbongkar lebih banyak lagi kelemahan di kepolisian. Jadi kita melihat makin hari kita makin kehilangan rule or law (supremasi hukum)," papar tokoh PKR itu.
Zaid Ibrahim, anggota parlemen dari UMNO, melihat pemerintah sebenarnya telah berupaya walaupun dia sepakat perlu dibuka kebebasan politik, kebebasan media massa, dan perubahan- perubahan dalam kelembagaan negara.
"Kami belum sampai tahap kronik. Dalam banyak hal kita membuat keputusan yang saya kira juga bergantung pada pimpinan. Namun, Malaysia secara keseluruhan agak bernasib baik karena setiap kali menghadap masa yang sulit, krisis, selalu melihat ke belakang sehingga bisa mengambil keputusan yang sesuai," ungkapnya.(jan/ton/oki)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar