Malaysia Catholic paper told to stop using 'Allah' or lose permit
KUALA LUMPUR (AFP) — Malaysian security authorities Sunday warned a Catholic paper that its printing permit would not be renewed if it continued using the word "Allah," which the government says can only be used by Muslims.
Mohamad Johari Baharum, junior minister in the internal security ministry, told AFP that The Herald would receive a new permit only if it stops using words that are used in Islam.
"If they want the printing permit to be renewed, they have to comply with the requirements of the ministry. This is to prevent uneasiness among the majority Muslim Malaysians.
Baca juga, artikel Terkait
Seluruh Umat Beragama Disarankan Gunakan Kata "Allah" untuk Sebut Tuhan
"They have to drop the use of the words Allah (God), Baitullah (House of God), Solat (prayer) and Kaabah (The Sacred House) in the Malay language section of the newspaper," Mohamad Johari said.
The Herald, a tabloid-sized newspaper, is circulated among the country's 850,000 Catholics with articles written in English, Chinese, Tamil and Malay.
Christians say they have long used the word "Allah" without problems, although the internal security minister had warned them since the late 1980s not to use the four terms.
The annual printing licence for the 28-page weekly newspaper expires on Monday, without which it cannot be published.
Malaysian commentators have sounded alarm over the growing "Islamisation" of the country and the increasing polarisation of the three main ethnic communities, which mix much less than in the past.
Mohamad Johari said the government decision was final as it was a "sensitive matter" and was aimed to avoid confusion.
Religion and language are sensitive issues in multiracial Malaysia, which experienced deadly race riots in 1969.
The publisher of The Herald and a church group in Sabah state on Borneo island have filed a legal suit against the government for banning them from using the word Allah.
"We are in the view that we have the right to use the word Allah, (a right) which ... is now sought to be curtailed," Father Lawrence Andrew, editor of The Herald, told AFP Friday.
Andrew said the legal challenge was filed in the High Court on December 5 following orders from the government not to use the word Allah, which Muslims use to describe God.
Bernard Dompok, minister in the prime minister's department, however told AFP that he had spoken to Prime Minister Abdullah Ahmad Badawi over the problems faced by Catholics.
"Only in Malaysia, the Muslims claim exclusive rights to the word Allah. I am confident The Herald's permit will be renewed and it will be allowed to publish in all the four languages," he told AFP.
About 60 percent of Malaysia's 27 million people are ethnic Malay Muslims. The rest are mostly Buddhist, Hindu or Christian Chinese and Indians.
Koran Katolik Malaysia Terancam
Sumber: Koran Tempo, Senin, 31 Desember 2007
KUALA LUMPUR---Pihak keamanan Malaysia kemarin kembali mengancam The Herald, sebuah harian Katolik, agar tak lagi memakai kata "Allah" jika ingin izin terbit mereka diperpanjang oleh pemerintah. Menurut pemerintah, kata "Allah" hanya untuk kalangan muslim.
"Mereka (The Herald) tak boleh memakai kata Allah, baitullah, salat, dan Ka'bah dalam seksi bahasa Melayu," kata Menteri Muda Keamanan Nasional Mohamad Johari Baharum kepada AFP. Kecuali, "Mereka tak ingin izin terbitnya diperpanjang," ujarnya.
The Herald, harian berukuran tabloid berisi 28 halaman, itu diterbitkan dalam bahasa Inggris, Cina, Tamil, dan Melayu. Pasar mereka 850 ribu pemeluk Katolik di Malaysia. Sejak 1980 harian ini diperingatkan pemerintah agar tak memakai empat kata tersebut. AFP
Seluruh Umat Beragama Disarankan Gunakan Kata "Allah" untuk Sebut Tuhan
Sumber: http://www.eramuslim.com, Kamis, 16 Agu 07 13:28 WIB
Uskup Katolik Roma di Belanda mengusulkan semua agama menggunakan kata "Allah" dari bahasa Arab untuk sebutan Tuhan. Karena "Allah" kata Uskup Martinus ''Tiny" Muskens, adalah kata sangat indah untuk sebutan "Tuhan."
"Tidakkah selayaknya kita semua mulai sekarang menyebut kata Tuhan dengan Allah, " kata uskup dari keuskupan Breda dalam acara di sebuah jaringan terlevisi awal pekan kemarin.
Apalagi, kata Uskup Muskens, umat Kristiani dari kalangan Arab, sudah menggunakan kata Allah untuk sebutan Tuhan.
Uskup Muskens juga menceritakan pengamalamannya selama delapan tahun tinggal di Indonesia, di mana para pendeta menggunakan kata Allah saat misa.
"Dalam Jamuan Suci, Tuhan disebut dengan perkataan Allah, lalu mengapa kita tidak mulai menggunakan kata Allah bersama-sama? Kita tidak perlu berselisih soal terminologinya. Tuhan tidak peduli kita menyebutnya apa. Kitalah yang mempermasalahkannya, " papar Uskup Muskens, 71 tahun.
Tapi tidak semua umat Kristiani setuju dengan usulan Uskup Musken agar semua umat beragama menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan.
"Menyebut Tuhan dengan Allah tidak cocok dengan identitas Barat. Saya melihat tidak ada manfaatnya, " kata Gerrit de Fijter, ketua Gereja Protestan di Belanda, pada surat kabar De Telegraaf edisi Rabu (15/8).
Survey yang dilakukan De Telegraaf juga menunjukkan 92 persen dari 4. 000 responden tidak setuju dengan usul Uskup Musken.
Namun Uskup Muskens mengaku optimis, wacana yang digulirkannya suatu saat bisa diterima secara luas, meski butuh waktu yang sangat panjang.
Uskup Muskens dikenal sebagai uskup yang kerap berbeda pendapat dengan pimpinan agama Katolik di Vatican. Misalnya soal kondom, berbeda dengan pendapat Vatican, Uskup Muskens menyatakan setuju dengan penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV/AIDS. Ia juga menyatakan bahwa orang yang kelaparan, boleh mencuri makanan. (ln/iol)
Larangan Kata “Allah” di Malaysia
www.radarbanjarmasin.com Sabtu, 29 Desember 2007
KUALA LUMPUR – Karena dilarang menggunakan kata “Allah”, sebuah gereja dan The Herald, penerbitan surat kabar di Malaysia menuntut pemerintah. Alasannya, larangan itu tidak sesuai dengan konstitusi dan melanggar kebebasan beragama.
Gerakan tersebut dipicu pengumuman pemerintah yang mengatakan bahwa “Allah” berarti Tuhan dalam bahasa Melayu. Dan kata tersebut merujuk pada Tuhan bagi muslim, dan hanya boleh digunakan muslim.
The Herald merupakan sebuah surat kabar Gereja Katolik di Malaysia. Pemerintah Malaysia telah beberapa kali memperingatkan mereka untuk tidak menggunakan kata “Allah”. Bila membangkang, izin terbit mereka diancam akan ditarik kembali.
’’Kami juga mempunyai hak menggunakan kata “Allah”, dan hak tersebut kini dibatasi,’’ ujar Pastur Lawrence Andrew, editor The Herald.
Selama ini, agama dan bahasa merupakan isu yang sangat sensitif di negeri multietnis seperti Malaysia. Bahkan isu tersebut pernah memicu kerusuhan mematikan pada tahun 1969. Di Malaysia, sekitar 60 persen dari 27 juta adalah etnis Melayu beragama Islam. Disusul dengan etnis Tionghoa yang beragama Kristen dan Buddha, sekitar 25 persen. Sisanya, 10 persen adalah etnis India yang memeluk Hindu.
Tindakan hukum juga diambil Gereja Evangelis Sabah, Borneo. Dituturkan pengacara gereja tersebut, Lim Heng Seng, tuntutan itu disebabkan pemerintah melarang impor buku-buku Kristen yang mencantumkan kata “Allah”.
’’Keputusan bahwa penggunaan ‘Allah’ hanya untuk muslim, menyebabkan hal ini menjadi masalah keamanan. Dan pelarangan buku-buku yang mencantumkan kata ‘Allah’ sangat tidak sesuai hukum,’’ kata Lim.
Kedua lembaga tersebut menyebut bahwa Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi sebagai terdakwa. Sementara itu, para pejabat kementerian tidak bisa dimintai komentar seputar kasus ini.
Kalangan minoritas kerap mengajukan keluhan mereka karena tidak bisa sepenuhnya memperoleh kebebasan beragama. Meskipun beribadah telah dijamin secara konstitusi.
Berdasarkan surat pernyataan yang diperoleh kantor berita AP, Pastor Jerry Dusing dari gereja di Sabah mengatakan kalau petugas bea cukai telah menyita tiga paket kardus materi pendidikan untuk anak-anak yang dibawa seorang anggota gereja. Ketika itu, tepatnya Agustus lalu, dia sedang transit di bandara Kuala Lumpur.
Menurut Dusing, penyitaan itu dikarenakan adanya kata “Allah.” Dia juga mengatakan kalau alasan pemerintah melarangnya karena khawatir akan terjadi kebingungan dan kontroversi di antara muslim. Sementara itu, lanjut Dusing, umat Kristen di Sabah telah menggunakan kata “Allah” selama bertahun-tahun dalam setiap khotbah yang mereka sampaikan dalam bahasa Melayu. Bahkan, kata tersebut juga tercantum dalam Kitab Injil berbahasa Melayu.
’’Umat Kristen menggunakan kata “Allah” lebih dulu daripada Islam. “Allah” yang merujuk pada nama Tuhan dalam Injil berbahasa Arab kuno juga ada dalam Injil berbahasa Arab modern,’’ lanjut Dusing. Apalagi, penggunaan “Allah” juga digunakan umat Kristen di Mesir, Lebanon, Irak, Indonesia, serta di negara lain tanpa menimbulkan masalah.
Para pemimpin gereja juga menyampaikan hal senada. Bahwa mereka telah menggunakan kata “Allah” ketika menyampaikan khotbah dalam bahasa Melayu atau yang ditulis dalam bahasa Melayu, seperti yang terdapat di halaman 28 surat kabar mingguan tersebut.
The Herald yang dicetak sebanyak 12 ribu eksemplar diterbitkan dalam empat bahasa. Yaitu, Inggris, Melayu, Mandarin, dan Tamil. Dan larangan penerbitan untuk edisi berbahasa Melayu dimulai Januari.
Mohamad Johari Baharum, menteri muda keamanan mengatakan kalau kata “Allah” seharusnya hanya digunakan dalam konteks Islam dan tidak digunakan dalam agama lain. Hal itu tidak lain untuk menghindari kebingungan.
’’Hanya muslim yang dapat menggunakan kata Allah. Kata Allah yang digunakan oleh umat Katolik, tidak benar,’’ katanya seperti yang baru-baru ini dikutip media online Malaysiakini. (AFP/AP/dia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar