TURUT BERDUKA CITA ATAS TEWASNYA MANTAN PERDANA MENTERI PAKISTAN BENAZIR BHUTTO AKIBAT TEMBAKAN DAN SERANGAN BOM BUNUH DIRI DI RAWALPINDI PADA 27 DES 2007. BENAZIR BHUTTO ADALAH SIMBOL MODERNITAS DAN DEMOKRASI DI PAKISTAN. KAMI RAKYAT INDONESIA MENGUTUK KERAS AKSI TEROR TERSEBUT.

Menanti Reformasi Ala Malaysia

Menanti Reformasi Ala Malaysia
Sumber: Gatra, 26 Desember 2007, Hal 18

Gelombang unjuk rasa terus bergulir di Malaysia. Demonstran menuntut reformasi serta pemilu yang adil dan jujur. Etnis India menuntut pemulihan hak-hak asasi. Terkendala oleh ISA. Tindakan afirmatif gagal.

Baca Selengkapnya »»

Peneliti Malaysia Mencuri Naskah Kuno

Peneliti Malay Berburu Naskah
Sumber: Gatra, 26 Desember 2007, Hal 74

Sejumlah peneliti Malaysia getol berburu naskah Melayu klasik dari Indonesia. Ada yang dibeli secara ilegal. Banyak pula yang diambil secara diam-diam, lantas diklaim sebagai naskah Malaysia.

Baca Selengkapnya »»

Malaysia Diskriminasi

Diskriminasi Malaysia Belum Selesai
Sumber: Gatra 26 Desember 2007
Hak-hak istimewa kaum bumiputra Malaysia "ditukar" dengan status kewarganegaraan kaum imigran. Kontrak sosial yang dinilai ampuh mengawal Malaysia selama lebih dari setengah abad.

Baca Selengkapnya »»

Advertorial Global Warming


Blogger Indonesia Peduli Global Warming (sumber: http://www.andaka.com)

Masih berhubungan dengan Global Warming, banyak kalangan yang underestimate terhadap apa yang dirembugkan delegasi-delegasi negara di KTT Climate Change yang diselenggarakan di Bali. Sebagian besar memandang event ini hanya sebuah dagelan wacana belaka.

Terlepas dari semua itu, masalah pemanasan global tetap merupakan masalah yang mengancam. Pertanyaannya sekarang adalah, bila kesepakatan antar delegasi negara tersebut belum klop, apakah kita hanya berdiam diri?

Aku ingin mengutip sebuah kalimat yang pernah digunakan salah seorang politisi Indonesia ketika sedang berkampanye : “Tangan saya kecil, tangan anda juga kecil… dan tangan seluruh rakyat Indonesia juga kecil. Namun bila tangan-tangan ini bersatu, gunung pun bisa kita geser”

Hiperbola memang… namun dari kalimat tersebut ada makna yang bisa kita petik. Komunitas Blogger Indonesia adalah komunitas yang besar. Berbeda sekali ketika aku mulai ngeblog tahun 2001 lalu dimana jumlah Blogger masih sedikit sekali. Bayangkan jika kita, setiap Blogger Indonesia, mau sedikit peduli terhadap pemanasan global tentunya akan memberi pengaruh yang besar. Jadi, mulailah dari diri sendiri!

Lalu apa yang bisa dilakukan seorang Blogger untuk ikut andil/peduli terhadap pemanasan global? Dilihat dari gambar paling atas, pemanasan global besar dipengaruhi oleh adanya emisi gas (diantaranya karbon dioksida). Dan 40% dari emisi karbon dihasilkan oleh sektor ketenagalistrikan. Dan selain “kebutuhan” akan listrik, dunia blogger juga dekat dengan penggunaan kertas dan tinta yang dalam proses produksinya juga menghasilkan gas emisi.

Seperti yang terlihat pada diagram hubungan antara Blogger dengan Pemanasan Global di atas, selain melakukan tindakan-tindakan secara umum untuk Stop Global Warming, sebenarnya Blogger bisa memfokuskan diri pada 2 hal menyangkut penghematan energi listrik dan barang-barang hasil produksi yang menghasilkan gas emisi, yaitu :

1. Hemat Penggunaan Komputer
Matikan saat tidak digunakan, stop melakukan download gila-gilaan yang menguras tenanga komputer sampai menyentuh titik panasnya. Blogger yang gemar main game (terutama game online) biasanya suka ngidupin komputer sampe pagi cuma buat vending tuh.

2. Hemat Penggunaan AC

Biar ngeblog tetep adem, buka jendela atau ganti AC dengan kipas angin, bila perlu pakai tenaga kipas-kipas tangan. Hehe…

3. Gunakan Lampu Hemat Energi
Berhubung belum dapet sponsor, silakan searching aja di google dengan keyword “Lampu Hemat Energi” *mudah-mudahan bukan blog ini yang nongol*

4. Kurangi penggunaan lampu di siang hari
Buka jendela, biarkan sinar matahari pagi masuk; kan baik juga buat kesehatan. Siang-siang juga buat apa ngidupin lampu? Selain ngefek ke pemanasan global, juga ngefek ke biaya listrik rumah atau kantormu. Mau?

5. Jangan biasakan ngeblog sambil menghidupkan TV
Kalau ngeblog ya ngeblog, kalau nonton ya nonton.

6. Pastikan indikator penanda arus listrik sudah padam saat tidak menggunakan alat elektronik
Kalau masih menyala berarti masih ada alirannya. Hal kecil memang, tapi bayangkan kalau hal ini terjadi sepanjang waktu. Banyak deh nyumbang untuk bikin bumi kita tenggelam.

7. Pantau penggunaan listrik bulanan
Kalau meningkat, bertekadlah untuk bulan depan musti turun. Sekarang juga sudah ada sistem voucher dari PLN. Sama kayak voucher ponsel, tapi yang ini ngga ada masa berlaku atau masa tenggangnya. Dipakai sampai habis trus jeglek! Makanya musti diisi sebelum voucernya habis. Dengan begini, pemakaian listrik bisa lebih terkontrol.

8. Hemat penggunaan kertas
Gunakan pada dua sisi kertas bantu pula menghemat dengan program seperti fineprint.

9. Hemat penggunaan tinta
Sama dengan kertas, tinda juga cukup akrab dengan dunia blogger.

10. Gali informasi tentang Global Warming
Siapa pun setuju kalau internet adalah gudang informasi. Sebagai seorang Blogger yang akrab dengan dunia internet akan sangat membantu didalam mendapatkan informasi-informasi terbaru seputar pemanasan global.

11. Tulis postingan tentang Global Warming
Semakin banyak yang menulis tentang pemanasan global, semakin banyak yang akan membaca dan “tercerahkan”:D

12. Gunakan Themes yang ringan
Berat ringannya themes adalah relatif, masih tergantung koneksi internet. Setidaknya jangan menggunakan banyak grafik yang memperberat loading yang berarti memperlama penggunaan komputer.

13. Pasang Banner “Blogger Indonesia Peduli Global Warming”
Pasang juga link ke postingan ini agar Blogger Indonesia semakin peduli terhadap pemanasan global. Jika bukan kita, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi?
(advertorial)

Baca Selengkapnya »»

Pindah Agama Diancam Mati

Pindah Agama, Kehidupan Lina Joy Jadi Susah
Sumber: http://www.ob.or.id, dipublikasi pada 31 Agustus 2006

Kehidupan Lina Joy setelah berpindah agama sungguh tidak mudah. Perempuan Malaysia itu hidup dalam ancaman. Karena adanya ancaman mati dari beberapa pihak, perempuan yang tadinya muslim itu harus bersembunyi. Dia tidak berani muncul di depan publik.

Perempuan yang dilahirkan dengan nama Azlina Jailani itu takut akan dibuang oleh negara ke pusat penahanan rehabilitasi beragama jika dirinya sampai tampil di depan publik.

Demikian disampaikan para pengacara Lina seperti diberitakan Hamilton Spectator, Selasa (29/9/2006). Bahkan keluarganya pun telah memutuskan hubungan dengan perempuan Melayu itu.



Kasus Lina Joy terus menghiasi pemberitaan media Malaysia dan luar negeri. Perempuan yang kini berusia 42 tahun itu pindah ke agama Katolik pada umur 26 tahun.

Padahal sebagai seorang etnis Melayu, maka dia otomatis dianggap sebagai muslim. Karena itulah, meski dia telah mendapat kartu identitas dengan nama barunya, Lina Joy, namun keterangan agama Islam masih tertera pada kartu tersebut. Lina
pun mengajukan permohonan kepada otoritas untuk mengubah keterangan agamanya. Namun permintaan ini ditolak.

Lima tahun lalu, Lina membawa kasus ini ke pengadilan guna mendapatkan sertifikasi untuk menikah dengan kekasihnya yang beragama Katolik. Namun berulang kali upaya Lina di pengadilan menemui kegagalan.

Sampai akhirnya, bulan Juli lalu, pengacara Lina, Benjamin Dawson, tampil di depan Mahkamah Agung (MA) Malaysia untuk menyampaikan permohonan terakhir agar perubahan agama Lina dianggap sebagai hak yang dilindungi konstitusi.

Jadi bukan masalah keagamaan di bawah yurisdiksi pengadilan syariah, yang mengatur masalah-masalah Islam termasuk pernikahan, perceraian dan kematian. Putusan MA sejauh ini belum keluar.

"Dia (Lina) cuma berusaha untuk menjalani kehidupan dengan seseorang yang dicintainya," kata Dawson. Diakuinya, kemarahan warga begitu besar atas perubahan agama tersebut.

Menurut Dawson, solusi yang paling menjanjikan hanyalah dengan beremigrasi.

Kasus Lina telah memicu serangkaian aksi protes jalanan dan ancaman kematian dari sejumlah kelompok yang menentang habis-habisan.

Sekitar 60 persen dari total 26 juta jiwa penduduk Malaysia adalah muslim. Sebanyak 20 persen di antaranya umat Budha,hampir 10 persen Kristen dan 6 persen Hindu.


Malaysia's Crisis of Faith
Time, Wednesday, May. 30, 2007
By Hannah Beech

In what has been dubbed a blow to Malaysia's religious freedom, the country's highest court on Wednesday denied an appeal by Christian convert Lina Joy to make her switch from Islam recognized by law. A multi-ethnic state composed largely of Muslim Malays, Christian and Buddhist Chinese, and Hindu and Sikh Indians, Malaysia has long prided itself on its diversity of faiths. To safeguard this religious heterogeneity, the country's constitution sets out a dual-track legal system in which Muslims are bound by Shari'a law for issues such as marriage, property and death, while members of other faiths follow civil law.

But the parallel system has occasionally faced snags. Joy is a Malay originally known as Azlina Jailani, and by Malaysian law her ethnicity automatically makes her a Muslim subject to Shari'a law. In order to make her 1990 conversion to Christianity legal, she needed permission from the Shari'a courts, which consider a renunciation of Islam a major offense. But, since she is still classified as a Muslim by the state, Joy was not allowed to have her case heard by the civil courts. Her six-year-long campaign to convince the civil system to legalize her conversion failed, prompting her appeal to the Federal Court, after the Court of Appeal rejected her claim in September 2005.

On Wednesday, the Court announced that it had no jurisdiction over the case since it was under the purview of Shari'a law, effectively punting on any attempt to clear up the gray space that exists between Malaysia's two legal systems. The ruling was greeted by shouts of "God is great!" from many in the assembled crowd outside the Palace of Justice in Kuala Lumpur. More secular observers were far less jubilant. "I see this case not just as a question of religious preference but one of a potential dismantling of Malaysia's ... multi-ethnic, multi-religious [character]," warned Malik Imtiaz Sarwar, a member of Joy's legal team, before the decision was announced.

The Joy verdict, which will likely become a precedent for several other pending conversion cases, is seen by many in Malaysia as evidence of how religious politics are cleaving the nation, with a creeping Islamization undermining the rights of both non-Muslims and more moderate adherents to Islam. Last November, at a party conference for the Muslim-dominated United Malays National Organization ruling party, one delegate vowed he would be willing to "bathe in blood" to defend his ethnicity — and, by extension, his religion. In several Malaysian states, forsaking Islam is a crime punishable by prison time.

Earlier this week, Malaysian Prime Minister Abdullah Ahmad Badawi, who in December acknowledged that race relations in his homeland were "fragile," hosted the World Islamic Economic Forum in Kuala Lumpur. In an era where Islam is so often partnered with extremism and autocratic governance, Malaysia was held up at the annual conference as a model of a moderate Muslim nation committed to safeguarding the rights of its diverse population. But the Federal Court's verdict on Joy's case, which represented her last legal recourse, may undercut that reputation. After all, is it complete religious freedom if a 42-year-old woman isn't allowed to follow the faith of her choosing?


Baca Selengkapnya »»

Malaysia's Trial of the Century

Menguak Skandal Seks Seorang Petinggi Malaysia

Takut skandal seksnya terungkap. Seorang petinggi Malaysia tega membunuh model asal Mongolia. Altantuya Shaariibuu tewas setelah ditembak dua kali di bagian kepala. Kemudian untuk menghilangkan jejak, mayatnya diledakkan dengan C4, dan potongan tubuhnya ditemukan di kawasan hutan di distrik Shah Alam, November 2006.
Ikuti kisahnya yang di tulis oleh Time dan Kompas



Foto: Malaysian political analyst Abdul Razak Baginda is escorted to the courthouse in Shah Alam outside Kuala Lumpur, Malaysia, June 4, 2007.Ahmad Yusni / EPA



Malaysia's Trial of the Century
By Hannah Beech
Time: 16 Juli 2007, page 32

A Mongolian part-time model whose naked body was allegedly blown up by military-grade explosives. A former political advisor to Malaysia's Deputy Prime Minister charged with abetting the murder of his ex-lover. Two government security agents whom the prosecution alleges carried out the killing of the 28-year-old Mongolian woman. A loyal wife who, despite allegations of her husband's involvement in the plot, has worn a T-shirt to the murder trial that says "Mrs. Abdul Razak Baginda" on the front, "and proud of it" on the back. Welcome to what may be the most sensational case in an Asian courtroom today.


Malaysia, a tidy Southeast Asian nation that is often held up as a model of a Muslim-majority democracy, doesn't usually play host to a murder trial that seems better suited to an episode of The Sopranos. But the political implications of the death of model-turned-interpreter Altantuya Shaariibuu last October have riveted this country of 25 million, leading some to doubt the succession hopes of the current Deputy Prime Minister. For others, the trial, which opened on June 18, will serve as a bellwether of the integrity of Malaysia's legal system and its burgeoning press. Last fall, several local journalists were detained after covering the case but were later released. Since then, the local newspapers have reported the minutiae of the case in increasingly scandalous detail.


The story begins in 2004 when a polished Malaysian think-tank director named Abdul Razak Baginda met the comely Shaariibuu at a gala in Hong Kong. A married father, Abdul Razak, now 47, had been educated in Britain and had written several books on Malaysia's political economy. He and Shaariibuu began a romantic relationship, meeting up for secret liaisons across Asia. Eight months later, Abdul Razak broke off the affair, according to the prosecution and a court affidavit filed by him. Abdul Razak alleges that Shaariibuu then began blackmailing him, presumably threatening to make their relationship public if he did not pay up.

By the spring of 2006, however, Abdul Razak says he stopped sending money. Shaaribuu traveled to the Malaysian capital Kuala Lumpur in October 2006. In the affidavit, Razak says that after the Mongolian showed up in town, he confided in a high-level security officer who worked for Deputy Prime Minister Najib Razak. Then, on October 19, according to Razak's affidavit, the think-tank head called a police officer associated with a high-level unit that provided security for top Malaysian leaders to tell him that Shaariibuu was standing outside the gate of his house, a car with three police agents pulled up and took the Mongolian woman away. Several witnesses saw Shaariibuu entering the vehicle. That was the last Abdul Razak says he ever saw of his former paramour.

Abdul Razak, who was later charged with abetting murder, has pleaded not guilty. For their part the two policemen charged with carrying out the murder have also pleaded not guilty. Shaariibuu's burned remains were found in a jungle outside Kuala Lumpur on November 6. All three could face the death penalty if convicted.

Widespread scrutiny of Malaysia's court system arose nearly a decade ago when former Deputy Prime Minister Anwar Ibrahim was convicted of sodomy and abuse of power, a ruling condemned by human-rights groups. Already, hints of legal impropriety have stained this case. The original lead prosecutor was removed from his position after it became known that he often played badminton with the presiding judge.

There has been press speculation in Malaysia and abroad that the case may affect Deputy Prime Minister Najib Razak, a friend and associate of Abdul Razak. That is not yet clear. Heir-apparent Najib has denied any involvement in the case, and no evidence whatsoever has emerged linking him with the woman's death. Malaysian Prime Minister Abdullah Ahmad Badawi has promised that politics will not influence the outcome of the trial. But any link to such a lurid murder can't be good news for Malaysia's ruling party. The case will likely continue over the next couple months, just as the southeast Asian nation celebrates 50 years of independence. With local newspapers covering the case with unprecedented enthusiasm, Malaysians can look forward to a most salacious summer.
***

Skandal. WANITA YANG HEBOHKAN MALAYSIA
KOMPAS - Rabu, 06 Jun 2007

Malaysia kembali dihebohkan dengan sidang pengadilan yang melibatkan figur politik terkemuka. Pengadilan itu bisa menjadi lebih dari sekadar sidang kasus pembunuhan biasa karena aroma politik yang kental.

Sidang kasus pembunuhan terhadap seorang perempuan Mongolia, Altantuya Shaariibuu (28), yang diduga dilakukan Abdul Razak Baginda (47), orang dekat Wakil Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, seharusnya dimulai hari Senin (4/6) lalu. Namun, sidang itu ditunda hingga 18 Juni karena mendadak hakim mengganti tim jaksa penuntut
umum.

Oposisi di Malaysia langsung mengecam penundaan sidang dan mengatakan langkah itu sarat motif politik. Menurut Sekretaris Jenderal Partai Aksi Demokratik Lim Guan Eng, penundaan itu mencerminkan kurangnya profesionalisme dan sikap tidak hormat kepada pengadilan.

Sidang kasus pembunuhan itu merupakan sidang paling sensasional setelah persidangan mantan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim, hampir 10 tahun lalu. Proses pengadilan soal isu ini sangat ditunggu-tunggu rakyat Malaysia.

Dalam laporan yang diturunkan International Herald Tribune, 1 Juni lalu, rakyat Malaysia berharap pertanyaan mendasar tetapi penting bisa terjawab, yaitu siapa yang berada di balik pembunuhan Shaariibuu dan mengapa pembunuhan itu terjadi?

Seperti halnya sidang Anwar, pembunuhan Shaariibuu mencuatkan isu soal transparansi, kredibilitas pengadilan, dan praktik kerja kepolisian Malaysia.

Dibunuh penerjemah
Sejak potongan mayatnya ditemukan di kawasan hutan di luar kota Kuala Lumpur, November 2006, pembunuhan misterius Shaariibuu, seorang model paruh waktu asal Mongolia, telah menarik perhatian elite politik Malaysia. Tidak lain karena jaksa penuntut umum mengatakan dia dibunuh atas perintah orang kedua paling berkuasa di Malaysia.

Shaariibuu, yang diakui sebagai kekasih Baginda, tewas setelah ditembak dua kali di kepala, Oktober 2006. Mayatnya kemudian diledakkan dengan bahan peledak. Baginda, yang merupakan anggota Pusat Penelitian Strategis Malaysia, dan dua pengawal pribadi, Azilah Hadri dan Sirul Azhar Umar, yang merupakan anggota unit elite pengawal pejabat tinggi, dituduh melakukan pembunuhan itu.

Masyarakat Malaysia berspekulasi apakah pembunuhan itu akibat pertengkaran antarkekasih belaka, atau bagian dari praktik terselubung yang melibatkan pejabat tingkat tinggi.

Terkait pembelian kapal
Pengacara Zulkifli Noordin, yang mewakili Hadri, mengatakan, akan menyelidiki peran Shaariibuu dalam pembelian kapal selam Perancis pada 2002. "Dia (Shaariibuu) mungkin terlibat sebagai penerjemah dalam perjanjian senjata antara perusahaan Perancis dengan Kementerian Pertahanan," ujarnya.

Di luar ruang sidang, sejumlah analis mengatakan, kasus dan persidangan itu menjadi ajang perebutan jabatan politik penting di Malaysia. Tampaknya, kasus itu menyalakan kembali api persaingan antara Najib dan Anwar untuk memperebutkan jabatan PM Malaysia.

Anwar mendesak penyelidikan lebih dalam mengenai pembelian kapal selam Perancis. Ia juga menyerukan agar sidang dan penyelidikan berjalan adil. "Kasus ini merupakan kasus internasional dan tidak hanya soal pembunuhan Altantuya, tetapi juga pertaruhan sistem pengadilan," kata Anwar.(ap/afp/fro)

***

OPOSISI MALAYSIA TUNTUT PENJELASAN DARI WAKIL PM
Model Mongolia Pernah Makan Bareng Najib Razak

Sumber: Rabu, 11 Jul 2007 Halaman: 9 Penulis: fro Ukuran: 4057

Kuala Lumpur, Selasa
Anggota partai oposisi Malaysia meminta Wakil Perdana Menteri Najib Razak menjelaskan keterlibatannya dalam kasus pembunuhan model Mongolia, Altantuya Shaariibuu, 19 Oktober 2006. Razak dekat dengan penasihat politik Abdul Razak Baginda, salah satu tersangka pembunuhan.

Belum lama ini, Kepala Bidang Informasi Partai Keadilan Rakyat Tian Chua memasang sebuah foto Razak yang tengah duduk bersama Baginda dan Altantuya di blog pribadinya. Chua mengakui foto itu telah direkayasa, tetapi dia tidak bersedia meminta maaf dan tak mau mencabut foto tersebut.

"Foto ini memang hanya imajinasi saya. Maksudnya memang untuk memaksa Najib menjelaskan keterkaitannya dalam kasus pembunuhan. Saya tidak akan mencabut foto itu atau meminta maaf," kata Chua, Selasa (10/7).

Foto tersebut muncul di blog Chua pada 2 Juli setelah keponakan Altantuya, Burmaa Oyunchimeg, bersaksi bahwa dia pernah melihat foto Altantuya makan bersama Baginda dan "seorang pejabat Pemerintah Malaysia".

Burmaa tidak mengidentifikasi pejabat itu sebagai Razak, tetapi dia mengatakan, Altantuya pernah memberitahunya bahwa pejabat itu bernama Najib Razak.

Razak membantah keras keterlibatan apa pun dalam kasus tersebut. Karena itu, Chua mengatakan akan terus melanjutkan aksinya di internet. "Saya ingin otoritas menangani kasus ini secara transparan dan Najib harus mengakui hubungannya dengan Altantuya," ujarnya.

Jaksa penuntut mengatakan, Baginda merencanakan pembunuhan Altantuya dan memerintahkan dua anggota Unit Tindakan Khusus (UTK) Kepolisian Malaysia, Azilah Hadri dan Sirul Azhar Umar, untuk membunuh model tersebut. Diduga, Altantuya dibunuh terkait perannya dalam pembelian kapal selam Perancis tahun 2002 antara perusahaan Perancis dan Kementerian Pertahanan yang diisukan terkait dengan suap-menyuap. Altantuya berperan sebagai penerjemah dalam perjanjian tersebut karena kemampuannya berbahasa Perancis.

Altantuya tewas setelah ditembak dua kali di bagian kepala. Mayatnya kemudian diledakkan dan potongan tubuhnya ditemukan di kawasan hutan di distrik Shah Alam, November 2006.

Ditolak
Pengadilan Malaysia, Rabu, menolak pengakuan Sirul, salah satu tersangka, karena dibuat di bawah paksaan Mastor Mohamad Ariff, Wakil Komandan UTK. Pengakuan itu tidak bisa dijadikan bukti di pengadilan.

"Berdasarkan fakta dalam kasus ini, tampak jelas adanya paksaan dalam upaya mendapatkan pengakuan," kata Hakim Mohammed Zaki Mohammed Yasin. "Karena itu, pengadilan memutuskan bahwa pengakuan itu tidak dibuat secara sukarela. Oleh karena itu, pengakuan ini tidak akan diterima sebagai bukti di pengadilan," ujarnya.

Pengacara Sirul, Kamarul Hisham Kamaruddin, mengatakan, pengakuan Sirul dibuat dalam situasi penuh tekanan sehingga tidak bisa digunakan sebagai buktiapa pun. "Sirul berada dalam kondisi sangat kebingungan akibat kegelisahan mental yang berat," kata Kamarul.

Dia menambahkan, Mastor mengintimidasi Sirul untuk membuat pengakuan tersebut. "Sirul benar-benar sedang kebingungan," kata Kamarul.

Dalam kesaksian di pengadilan, Mastor menuturkan, dia diperintahkan untuk menjemput Sirul dari Pakistan, di mana dia ditugasi untuk mengawal PM Abdullah Ahmad Badawi. Dia duduk di sebelah Sirul selama penerbangan dari Pakistan ke Malaysia dan memberi tahu bahwa Azilah telah mengakui pembunuhan.

"Saya mengatakan kepada Sirul bahwa kasus itu telah diketahui publik dan tidak ada yang perlu disembunyikan. Dia tampak gugup dan gemetar," ujar Mastor.

Namun, Sirul bersaksi bahwa Mastor berulang kali menanyai dia tentang tuduhan pembunuhan itu dan suara Mastor terdengar menakutkan. Pembunuhan Altantuya dinilai berbagai pihak sarat kepentingan politik. Pengadilan kasus tersebut juga dilihat sebagai ujian bagi transparansi sistem pengadilan Malaysia.(afp/fro)

Baca Selengkapnya »»

Detention Without Trial

The Internal Security Act (ISA), which allows for detention without trial, is unpalatable to most Malaysians
The Jakarta Post, 14 December 2007


Baca Selengkapnya »»

Lagi, Korban Internal Security Act

Di Malaysia, dengan Internal Security Act (ISA), seseorang bisa ditahan dalam jangka waktu tidak terbatas tanpa pengadilan.
Sumber: Kompas, Jumat, 14 Desember 2007



Malaysia Gunakan ISA
Lima Aktivis Etnis India Akhirnya Ditangkap

Kuala Lumpur, Kamis - Otoritas Malaysia, Kamis (13/12), menangkap lima pengacara etnis India dari kelompok Kekuatan Aksi Hak-hak Hindu. Penangkapan didasarkan pada Undang-Undang Keamanan Internal atau ISA. Dengan ISA, seseorang bisa ditahan dalam jangka waktu tidak terbatas tanpa pengadilan.

Seorang anggota Kekuatan Aksi Hak-hak Hindu (Hindraf), S Jayathas, mengatakan bahwa lima aktivis Hindraf, yaitu P Uthayakumar, M Manoharan, R Kenghadharan, V Ganabatirau, dan T Vasanthakumar, ditangkap tanpa surat perintah penangkapan, tetapi sah di bawah ISA. Kelima orang itu adalah organisator protes 8.000 etnis India di Malaysia, 25 November.

Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi sebelumnya menyatakan tidak akan ragu-ragu menggunakan ISA untuk menjamin stabilitas nasional. Penggunaan ISA kemarin merupakan yang pertama kali sejak 2001 saat enam anggota oposisi ditangkap semasa pemerintahan PM Mahathir Mohammad menyusul penahanan Wakil PM Anwar Ibrahim.

Sejarah konflik antar-etnis di Malaysia menyebabkan protes warga etnis India, meskipun damai, menimbulkan ketakutan mendalam di kalangan pemerintah dan rakyat biasa.

Tahun 2001, lima orang tewas dan 37 orang cedera dalam kerusuhan antara etnis Melayu dan India setelah seorang warga etnis India menendang kursi di sebuah acara perkawinan warga etnis Melayu. Tahun 1969 pernah juga terjadi kerusuhan antara etnis Melayu dan China yang menyebabkan ratusan orang tewas.

Sebuah sumber di Unit Khusus, Intelijen Kepolisian, mengatakan, protes Hindraf dan tudingan pembersihan etnis oleh pemerintahan yang didominasi etnis Melayu memicu kemarahan warga etnis Melayu. "Ini adalah negara multiras dan hanya perlu hal kecil untuk merusak keseimbangannya," ujar sumber yang menolak disebutkan namanya.

Kelompok oposisi menuding pemerintah menggunakan alasan kekerasan rasial untuk meredam protes damai. Polisi dianggap memberlakukan larangan atas semua bentuk protes antipemerintah tanpa memedulikan isu yang dipersoalkan.

"Kami mengecam penangkapan. Ini hanyalah usaha yang sia-sia. Jika pemerintah memiliki buktinya, seharusnya pemerintah mendakwa mereka di pengadilan terbuka," kata Lim Guan Eng, Ketua Partai Aksi Demokratik (kubu oposisi). "Kami mendesak pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi nasional, bukan konfrontasi dengan warga Malaysia yang terpinggirkan dan terbuang," ujarnya.

Syed Ibrahim Syed Noh, aktivis HAM Malaysia, mengkritik penangkapan itu. "Anda tak pernah bisa membenarkan ISA. Kami khawatir terhadap nasib mereka yang ditangkap karena begitu banyak laporan penyiksaan oleh polisi dalam kasus ISA," katanya.

Kemunduran

Penangkapan lima aktivis Hindraf tidak menyurutkan semangat warga etnis India. "Perjuangan ini akan terus maju. Kami memiliki banyak pemimpin dan kami tidak akan mundur untuk membela hak-hak warga etnis India," kata Jayathas.

Dengan menggunakan ISA untuk menangkap para aktivis yang terlibat protes, Malaysia dinilai mengalami kemunduran. "Penggunaan ISA sama sekali tidak bisa dibenarkan. Penahanan tanpa pengadilan adalah kemunduran menuju hari gelap hak asasi manusia dan akan menghancurkan citra dan reputasi internasional Malaysia," kata Lim Kit Siang, salah seorang pemimpin oposisi.

Di bawah ISA, Pemerintah Malaysia juga menahan lebih dari 100 orang, termasuk 80 orang yang diduga anggota kelompok Islam garis keras pada tahun 2001 dan 2002. Kelompok HAM terus berkampanye agar ISA dihapuskan. (ap/afp/reuters/fro)

Baca Selengkapnya »»

Malingsia Bandar Dadah / Narkoba

Orang Malaysia kian gencar mengobok-obok bangsa ini. Mulai aksi hipnotis, teror bom, penistaan dan penganiayaan, kejahatan narkoba, sampai pencaplokan budaya
Sumber: Gatra, 13 Desember 2007

Baca Selengkapnya »»

Skandal Seks Petinggi Malaysia


Pembunuhan Altantuya Shaaribuu model asal Mongolia
Sumber: Wikipedia


Altantuya dilahirkan pada 1978,dari ayah Shaaribuu Setev, seorang profesor psikologi, dan ibunya Sh Altantsetseg. Mereka membesarkannya bersama saudara perempuannya sementara mereka bekerja di Rusia; di sini pula Altantuya memulai pendidikan kelas 1 sekolah dasarnya. Ia fasih berbahasa Mongolia, Rusia, Perancis dan Inggris.

Altantuya pindah kembali ke Mongolia pada 1990 dan beberapa tahun kemudian menikah dengan seorang penyanyi tekno Mongolia bernama Maadai. Mereka memperoleh seorang anak pada 1996 tetapi pernikahan itu berakhir dengan perceraian dan anaknya kemudian tinggal bersama orangtua Altantuya.


Meskipun berpendidikan sebagai guru, Altantuya pindah sebentar ke Perancis dan di sana ia masuk ke sekolah model, lalu kembali ke Mongolia. Ia hanya menjadi model paruh waktu; di samping itu ia membuka bisnis perjalanan di Mongolia, meskipun tidak berjalan dengan baik.

Altantuya menikah kembali dan memperoleh seorang anak lagi pada 2003 namun pernikahan kedua ini pun juga berakhir dengan perceraian. Anaknya yang kedua pun tinggal bersama orangtua Altantuya.

Pembunuhan
Ia pindah ke Hong Kong pada 2005 dan membuka bisnis yang lain. Di situlah ia bertemu dengan Abdul Razak Baginda, seorang analis pertahanan dari tangki pemikiran Pusat Penelitian Strategis Malaysia dan menjalin hubungan dengannya.

Setelah tiba di Kuala Lumpur bersama sepupunya dan seorang temannya pada Oktober 2006 untuk menjalin kembali hubungannya dengan Baginda, ia pindah ke rumah Baginda, namun diculik dan dibawa pergi. Penyelidikan polisi mengungkapkan bahwa ia ditembak dua kali dan diledakkan dengan bahan peledak C4. Ketika tubuhnya ditemukan, ia hanya dapat diidentifikasikan melalui uji DNA atas potongan-potongan tulangnya.

Baginda dan tiga anggota kepolisian ditahan selama penyelidikan pembunuhan ini. Dua orang lainnya yang dicurigai terlibat dalam pembunuhan ini adalah Inspektur Kepala Azilah Hadri, 30 dan Kopral Sirul Azhar Umar, 35, manakala seorang lagi anggota polisi dibebaskan karena tidak terlibat dalam kasus ini. Mereka adalah anggota pasukan elit Pasukan Gerakan Khas A (Unit Tindakan Khas) (Unit Pasukan Khusus Polis Diraja Malaysia) dan keduanya ditempatkan di kantor Wakil Perdana Menteri, yang juga merangkap sebagai Menteri Pertahanan pada waktu pembunuhan itu terjadi.

Kepastian tentang huubungan (yang diakui oleh Baginda di Pengadilan) dan rincian-rincian yang pasti tentang pembunuhannya masih dalam penyelidikan. Kaerna penggunaan bahan peledak C4 (sangat jarang digunakan untuk kasus pembunuhan di Malaysia dan barangkali juga di seluruh dunia), kenyataan bahwa pihak-pihak yang dicurigai adalah polisi dan karier Baginda dapat terkait dengan kontrak-kontrak pertahanan - semuanya menimbulkan alasan-alasan kuat untuk spekulasi tentang adanya persekongkolan di balik semua ini.

Dalam memuat laporan tentang pembunuhannya di Selangor, Malaysia, foto Altantuya keliru dimuat dengan foto-foto penyanyi Korea Selatan, U;Nee, karena mereka sangat mirip. Foto-foto yang belakangan dinyatakan sebagai foto-foto U;Nee beredar dalam tabloid-tabloid di Malaysia dan Singapura, yang disebut sebagai foto-foto Altantuya.

Pengadilan kasus ini baru akan diadakan pada Maret 2008. Banyak orang Malaysia yakin bahwa ini dimaksudkan untuk melindungi politikus tertentu (Datuk Seri Najib Tun Razak) pada pemilihan umum mendatang.

Baca Selengkapnya »»

Hantu HAM bernama ISA (Internal Security Act)

BOOK
Malaysia 45 Years Under ISA.
Author: Koh Swe Yong
Publisher: SIRD
Year: 2004
Detention Without Trial

Malaysia 45 Years Under ISA: Detention Without Trial is translated but updated from Malaysia: 40 Years under the ISA, which was originally written in Chinese. It was authored by Koh Swe Yong who was a nine-year ISA detainee himself from 1976 to 1985..."The purpose of publishing the series is to record the struggles of the people so that such struggles fought will not be lost and forgotten with passing time, and the facts which have been intentionally twisted will be uncovered and known by all, now and future..."

Baca Selengkapnya »»

U.S. ask Malaysia to allow freedom of expression

U.S. ask Malaysia to allow freedom of expression
Sumber: The Jakarta Post, Wednesday 12, 2007
US asks Malaysia to allow freedom of expressionWASHINGTON (AFP) - The United States on Monday called on Malaysia to allow freedom of expression and assembly as the government of Prime Minister Abdullah Ahmad Badawi widened its crackdown on dissent.


"We have repeatedly raised with Malaysian authorities our belief that citizens of any country should be allowed to peacefully assemble and express their views," department spokeswoman Nancy Beck told AFP.

"We also stated in our annual human rights report our belief that the Malaysian government places significant restrictions on the right to assemble peacefully," she said.

Police permits are required under Malaysia law for public assemblies, defined as a gathering of five or more persons, but the State Department's rights report says senior police officials and political leaders influenced decisions on granting or denying some permits.

It said "a more restrictive policy" was applied with government critics, opposition parties, and human rights activists.

Beck's remarks on Monday came after Kuala Lumpur widened a crackdown on dissent following two mass rallies last month, with three legal actions taken Monday that rights groups and opposition leaders condemned as anti-democratic.

Ahead of elections, dozens of Malaysian government critics have been rounded up and now face trial on counts including attempted murder and sedition.

Abdullah has threatened to invoke draconian internal security laws that allow detention without trial, citing past racial violence in the multicultural nation dominated by Muslim Malays as reason for restricting street protests.

"If the choice is between public safety and public freedom, I do not hesitate to say here that public safety will always win," he said in Kuala Lumpur on Monday.

The United States often hails Malaysia as a moderate Muslim democracy but the image took a knock when a series of indiscriminate destruction of Hindu temples were highlighted by some groups recently.

A US Congress-appointed commission expressed concern last week at the destruction of the temples and other alleged discrimination faced by religious minorities in Malaysia, one of Southeast Asia's more developed economies.

The United States Commission on International Religious Freedom also urged the administration of President George W. Bush to raise the matter with Kuala Lumpur and "insist that immediate measures be taken to protect sacred sites and prevent further destruction."

The government, which cracked down on two mass rallies last month, took three separate legal actions Monday that rights groups and opposition leaders condemned as anti-democratic.

Among them was a revival of sedition charges against three leaders of ethnic Indian rights group Hindraf, which organised a November anti-discrimination protest that drew 8,000 people. The court had earlier allowed them to walk free on the charges, which carry a penalty of three years in jail.

Lawyers and their supporters were also charged in connection with a human rights march that they mounted in Kuala Lumpur on Sunday which was broken up by police.

Another prominent lawyer, Edmund Bon, was also charged with obstructing a city official who tried to remove protest banners from Malaysia's Bar Council building.

Twelve opposition figures were rounded up over the weekend in connection with an electoral reform rally last month which drew nearly 30,000 people who police dispersed with tear gas and water cannons.

Baca Selengkapnya »»

Malaysia Makin Represif

Malaysia Makin Represif
Sumber: Koran Sindo, Rabu, 12 Desember 2007
KUALA LUMPUR (SINDO) – Pemerintah Malaysia dinilai semakin represif dan tidak bisa mengendalikan diri menghadapi protes dan unjuk rasa yang bertubi-tubi dari kalangan oposisi. Kemarin,pihak berwenang Malaysia menangkapi belasan tokoh oposisi dan aktivis hak asasi manusia (HAM).



Puncaknya, petugas Imigrasi di Bandara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia, sempat menahan mantan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim selama satu jam. Selain tokoh oposisi berpengaruh di Malaysia itu, pemerintah juga menangkap sedikitnya 20 demonstran yang tidak mengindahkan larangan menyerahkan petisi ke parlemen. Insiden ini merupakan langkah tegas terbaru yang diambil Pemerintah Malaysia dalam menghadapi serangkaian aksi turun ke jalan yang mengundang puluhan ribu demonstran baru-baru ini.

Insiden kemarin terjadi berselang sehari setelah Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi dengan tegas menyatakan lebih memilih mengorbankan kebebasan berpendapat demi menjaga stabilitas keamanan nasional. Dia pun membenarkan penangkapan puluhan orang yang dituduh berupaya melakukan pembunuhan dan penghasutan. Anwar yang baru tiba dari Turki mengklaim ditahan selama satu jam dan disebut termasuk dalam ”daftar tersangka”. ”Dengan dalih menjaga keamanan publik, selama tiga hari belakangan pihak berwenang meningkatkan taktik represif mereka terhadap rakyat Malaysia dan menangkapi tokoh oposisi dan pemimpin HAM,”tandasnya.

”Saya ditahan di Bandara Internasional Kuala Lumpur. Pegawai Imigrasi menyebut nama saya masuk dalam blacklist. Tidak ada penjelasan tambahan lagi. Setelah itu paspor saya dikembalikan, kemudian saya tinggalkan Bandara,” imbuh Anwar, penasihat Partai Keadilan Rakyat (PKR) Malaysia. Sebelumnya Pemerintah Malaysia pernah memperingatkan akan memberlakukan hukum keamanan nasional (internal security act/ISA).Berdasarkan ISA, pemerintah memberi wewenang kepada aparat untuk menahan tersangka tanpa proses pengadilan terlebih dulu.

”Taktik represif ini merupakan pertanda bahwa kepemimpinan Perdana Menteri Badawi di Malaysia sudah mencapai titik akhirnya,” tandas Anwar. Juru bicara pihak Imigrasi mengaku tidak tahu menahu mengenai penahanan Anwar di bandara. Namun, nama-nama daftar hitam biasanya disediakan pihak kepolisian.

Petisi Oposisi
Sementara itu, pejabat PKR mengatakan penangkapan terhadap Anwar terkait dengan keterlibatannya dalam gerakan reformasi pemilu Bersih. Gerakan Bersih menggelar aksi unjuk rasa massal 10 November lalu dan dilanjutkan dengan upaya pengajuan petisi ke parlemen kemarin. Lebih dari 400 polisi menjaga gedung parlemen untuk menghalangi pengunjuk rasa bergerak ke sana. Para demonstran dipaksa berjalan kaki setelah seluruh jalan menuju ke gedung parlemen diblokade.

Ini menyebabkan kemacetan lalu lintas luar biasa di Kuala Lumpur. Polisi mengatakan telah menangkap 20 orang, termasuk beberapa anggota PKR dan partai Islam PAS. ”Kami tidak ingin aksi ini bertambah besar. Kami menangkap pengunjuk rasa ketika mereka tiba di sini untuk menghindari terjadinya pergumulan atau bentrokan,” ujar Sofian Yasin, asisten komisioner kepolisian. Pohon-pohon yang berjajar di pinggir jalan ditempeli selebaran yang berisi perintah pengadilan yang melarang pengunjuk rasa mendekati gedung parlemen.

Pi- hak berwenang menyebut aksi protes kemarin sebagai aksi ilegal.Hukum Malaysia melarang unjuk rasa di depan publik lebih dari empat orang tanpa izin dari kepolisian. ”Kami ditangkap tanpa alasan jelas. Padahal tidak ada kekacauan, tidak ada kerusuhan,tidak ada sama sekali,” kata Hatta Ramli, pejabat partai oposisi Partai Pan- Malaysian Islamic. Petisi yang menentang amendemen konstitusi usulan pemerintah akhirnya diberikan kepada anggota oposisi di parlemen dan nantinya diberikan kepada ketua parlemen. Petisi ini mendesak agar anggota parlemen menolak usulan amendemen yang akan memperpanjang usia pensiun pejabat Komisi Pemilu. Jika disetujui, amendemen ini bisa memperpanjang masa tugas Ketua Komisi Pemilu Abdul Rashid Abdul Rahman.

”Abdul Rashid, yang selama menjabat terus memanipulasi dan menyelewengkan pemilu, tidak cocok duduk sebagai ketua komisi dan harus turun secepatnya,” bunyi petisi tersebut. Amerika Serikat (AS) kemarin mendesak Malaysia agar menghormati kebebasan berpendapat dan berkumpul. Desakan itu tepat pada saat pemerintahan Badawi mempertegas sikapnya terhadap kubu oposisi dan penentangnya. ”Kami berulang kali menyatakan pedoman kami, warga negara di manapun harus diperbolehkan berkumpul dan menyatakan pendapat secara baik-baik,” kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Nancy Beck.

Dia mengungkapkan, dalam laporan HAM tahunannya, Pemerintah Malaysia memberlakukan pembatasan yang signifikan terhadap hak berkumpul. Dalam laporan HAM AS, pejabat senior kepolisian dan pemimpin politik memengaruhi keputusan dalam pemberian izin atau penolakan pengajuan izin kepolisian. Pihak-pihak yang dikenai kebijakan lebih ketat terkait izin ini adalah partai-partai oposisi, kelompok pengkritik pemerintah, dan aktivis HAM. AS kerap memandang Malaysia sebagai negara muslim moderat yang menjunjung tinggi demokrasi. Namun, serangkaian penghancuran tempat-tempat peribadatan Hindu di sana baru-baru ini banyak disoroti kelompok HAM.

Badawi Terancam
Pengamat Internasional dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Bantarto Bandoro menilai citra Anwar Ibrahim di mata masyarakat Malaysia sebagai penegak demokrasi dan tokoh oposisi paling disegani masih melekat kuat. ”Anwar masih menjadi tokoh oposan penting di sana. Sehingga apa pun gerakan yang dilakukannya selalu dimonitor pemerintahan Badawi,” katanya kepada SINDO tadi malam. Menurut Bantarto, hal itu tentunya mengancam eksistensi pemerintahan Badawi.Tak heran bila Badawi berusaha mencari cara bagaimana membungkam Anwar, termasuk dengan penangkapan itu.

Tetapi manuver yang dilakukan Badawi justru memperburuk imej pemerintahannya. Sementara itu, Direktur Pelindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Departemen Luar Negeri (Deplu) Teguh Wardoyo mengatakan, Deplu belum mendapatkan informasi tentang WNI yang ikut dalam demonstrasi besar-besaran di Malaysia.Pihaknya juga belum mendapat informasi adanya WNI yang ditahan maupun berhubungan langsung dengan demonstrasi tersebut. ”Saya berdoa semoga WNI di sana aman-aman saja.Lagipula,WNI kita di sana terbagi dua, yakni kalangan pendidikan dan pekerja. Artinya, saya tidak melihat potensi mereka ikut demonstrasi itu,”terangnya. Namun,kata Teguh,Deplu akan terus memantau, melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, perkembangan politik di sana. Pemantauan ini mengantisipasi kejadian demonstrasi besar yang bisa menimbulkan ekses politik signifikan. (AFP/AP/Rtr/tri subhki r/susi/rendra hanggara)

Baca Selengkapnya »»

Pemimpin UMNO Pengecut

Baca Selengkapnya »»

950 racial clashes reported


Baca Selengkapnya »»

Singapura Kritik Perlakuan Rasis Malaysia

Singapura Kritik Perlakuan Rasis Malaysia
Sumber: Kompas, 12 Oktober 2007

Singapura, Kamis - Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew, Kamis (11/10), mengkritik kebijakan Pemerintah Malaysia yang diskriminatif terhadap etnis minoritas.

Pernyataan itu disampaikan Lee ketika etnis minoritas China dan India di Malaysia mulai berani mengeluhkan kebijakan Pemerintah Malaysia yang selalu mengistimewakan etnis Melayu.

Sebagai catatan, Pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan pro-Melayu di hampir semua bidang sejak tahun 1972 dengan tujuan mengatasi kesenjangan ekonomi antara etnis Melayu dan China. Sejak saat itu, orang-orang Melayu mendapat hak khusus untuk menduduki posisi strategis di perusahaan-perusahaan. Etnis Melayu juga diberi peluang untuk memiliki 30 persen saham perusahaan yang tercatat di bursa. Kebijakan tersebut, kini, mulai digugat etnis minoritas.

Lee mengatakan, jika Malaysia memperlakukan etnis minoritas China dan India secara lebih baik dan bersedia menjalankan prinsip meritokrasi, Singapura tidak keberatan untuk bergabung lagi dengan Malaysia.


"Jika mereka (Malaysia) mendidik etnis China dan India, memanfaatkan mereka dan memperlakukan mereka sebagai warga negara, mereka (Malaysia) akan menyamai kami, bahkan, bisa melakukan sesuatu yang lebih baik dibandingkan dengan kami. (Jika itu terjadi), kami akan dengan senang hati bergabung lagi bersama mereka," ujar Lee kepada dua akademisi dari University of California’s Los Angeles Media Center dan University of Southern California’s Annenberg Center.

Singapura berpisah dari Federasi Malaysia pada tahun 1965. Sebelumnya, kedua negara menggabungkan diri, tetapi kebijakan itu tidak berumur panjang. Saat itu, ada kekhawatiran partai yang didominasi etnis China pimpinan Lee akan memengaruhi politik di Malaysia yang didominasi etnis Melayu. (AP/REUTERS/BSW/sut)


Baca Selengkapnya »»

Partai UMNO rasis dan korup

MEMOAR LEE MENYULUT KEMARAHAN MALAYSIA
Sumber: Kompas - Sabtu, 19 Sep 1998 Halaman: 16

Untuk ukuran Melayu, memoar mantan PM Singapura dan Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew, The Singapore Story: Memoirs of Lee Kuan Yew, barangkali terlalu terus terang. Di dalamnya tidak hanya memaparkan pengalaman masa mudanya, ketika ia belajar di Cambridge, terjun dalam politik sampai rincian soal-soal yang berkaitan dengan pemisahan Singapura-Malaysia.

Pada memoarnya yang menyangkut pengalamannya dengan Malaysia tahun 1963-1965 inilah yang membangkitkan kembali luka-luka lama. Banyak keturunan aktor-aktor politik Malaysia yang ditulis Lee itu masih hidup. Tidak mengherankan, gaya penulisannya yang blak-blakan itu menyulut lagi kemarahan para pemimpin Malaysia. Tidak kurang dari PM Malaysia Mahathir sejak awal pekan ini berkomentar, "Rakyat (Malaysia) tidak senang (dengan penerbitan buku itu)".

Lee menyebutkan tahun 1960-an partai berkuasa di Malaysia, Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) dilanda korupsi tingkat tinggi. Selain itu, Lee melukiskan Bapak Pendiri Malaysia Tunku Abdul Rahman secara tidak mengenakkan Malaysia.


Menurut Lee, UMNO menjadi pemicu kerusuhan rasial berdarah antara etnis Cina dan Melayu di Singapura tahun 1964. Kerusuhan terjadi ketika Lee dan kawan-kawannya sedang berusaha mengakhiri dominasi puak Melayu di arena politik Malaysia.

Sebagai kekuatan oposisi, Lee dan kawan-kawan menghendaki terbentuknya sebuah partai multirasial di Malaysia yang bisa mewakili kepentingan etnis Cina, India, Melayu, dan kelompok minoritas lainnya. "Penolakan terhadap hegemoni (puak) Melayu menjadi akar kerusuhan," tulis Lee dalam bukunya yang hari Jumat (18/9) dilaporkan 35.000 buku edisi pertama habis terjual dalam tempo dua jam.

Lee menjelaskan, untuk menekan pemerintahan aliansi di Kuala Lumpur, dia membentuk Dewan Koalisi hasil Konvensi Solidaritas Warga Malaysia yang beranggotakan para pemimpin negara bagian Singapura, Sabah, Sarawak, Penang, Perak, Selangor, dan Negeri Sembilan. Kelompoknya menghendaki istilah resmi a Malaysian Malaysia, bukan Malay Malaysia. Perjuangan Dewan Koalisi gagal setelah pimpinan dan pendiri UMNO, mendiang Tunku Abdul Rahman, mendominasi panggung politik Malaysia.


***

TAHUN 1965 Tunku Abdul Rahman mengadakan pembicaraan dengan Lee dan menegaskan, Singapura harus berpisah dari Malaysia. Menurut Lee, dalam pertemuan tersebut Abdul Rahman mengingatkan, Singapura tak bisa lagi diterima sebagai bagian dari Malaysia. Kerusuhan akan makin memburuk bila Singapura tak dipisahkan dari Malaysia.

"Saya sedih sekali karena sebelumnya saya selalu yakin, kedua wilayah akan selalu bersatu. Selama 20 menit saya menjadi emosional sekali," tulis Lee. Setelah kerusuhan rasial berlangsung tahun 1963-1965, tanggal 9 Agustus 1965, Singapura memproklamirkan diri sebagai negara sendiri.

Memoar Lee yang diluncurkan pertama kali Rabu lalu bersamaan dengan hari jadi Lee ke-75 itu, menimbulkan reaksi keras para pemimpin Malaysia. Meski dibantah keras berkaitan dengan penerbitan memoar Lee, Malaysia secara sepihak Kamis lalu menutup wilayah udaranya untuk penerbangan militer Singapura.

Mahathir mengatakan, pernyataan-pernyataan Lee sudah seringkali membuat hubungan baik Singapura-Malaysia yang seharusnya mudah, menjadi sulit. "Sudah sepantasnya para pemimpin (Malaysia) menghormati keinginan rakyatnya. Meski barangkali para pemimpin menghendaki hubungan baik (dengan Singapura), tapi kalau rakyat tidak?," tanyanya.

Ketika didesak apakah pemerintah Malaysia akan mengizinkan peredaran buku Lee di negerinya, Mahathir mengatakan: "Malaysia itu negara yang bebas, tapi ingat, memoar itu bisa membangkitkan kemarahan rakyat. Akan membuat rakyat sangat marah". (AFP/IHT/Rtr/win)

Baca Selengkapnya »»

Sejarah Kelam Malaysia

Manipulasi sejarah rasis di Malaysia melalui buku (Ada 3 buku yang berbeda versi tentang peristiwa 13 May 1969). Lebih jelas klik, http://pesanan-pesanan.blogspot.com/

Baca Selengkapnya »»

AS Serukan Malaysia Izinkan Kebebasan Berdemo

AS Serukan Malaysia Izinkan Kebebasan Berdemo
Sumber: Detik.com 11/12/2007 12:31 WIB

detikcom
Washington - Kepolisian Malaysia terus menangkapi para aktivis yang terlibat dalam aksi demo. Situasi ini tak luput dari perhatian pemerintah Amerika Serikat (AS). Pemerintah negeri adikuasa itu menyerukan pemerintah Malaysia untuk mengizinkan kebebasan berekspresi dan berkumpul. "Kami telah berulang kali membicarakan dengan otoritas Malaysia mengenai keyakinan kami bahwa warga negara manapun harusnya diizinkan berkumpul secara damai dan mengungkapkan pandangan mereka," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Nancy Beck kepada kantor berita AFP, Selasa (11/12/2007).


"Kami juga menyatakan keyakinan kami dalam laporan HAM tahunan kami, bahwa pemerintah Malaysia menetapkan batasanbatasan yang signifikan pada hak untuk berkumpul secara damai," tandas Beck. Sesuai UU Malaysia, izin polisi diwajibkan untuk setiap acara berkumpul di tempat publik, yang didefinisikan sebagai perkumpulan 5 orang atau lebih. Namun menurut laporan HAM Deplu AS, pemimpin politik dan pejabat-pejabat senior kepolisian bisa mempengaruhi keputusan pemberian atau penolakan izin berdemo. Kebijakan yang lebih ketat biasanya diberlakukan untuk partai oposisi, pengkritik pemerintah dan para aktivis HAM. ( ita / sss )

Baca Selengkapnya »»

Malaysia Krisis Indentitas

Malaysia's Identity Crisis
Time Asia, 10 Desember 2007, hal 28
By Hannah Beech/Kuala Lumpur

Racial and religius tensions are forcing Malaysia to grapple with a vexing question: What kind of country does it want to be?

Revathi Masoosai should be the perfect embodiment of Malaysia. Her ethnic Indian parents were both born in the ancient port of Malacca in 1957, the very year the colony of Malaya gained independence from the British. Her father was Christian, her mother came from a Hindu family, but they both officially converted to Islam, the religion practiced by Malaysia's majority Malays. Yet Revathi does not feel welcome in her ethnically and religiously diverse homeland. According to Malaysian law, Muslims can only marry other Muslims. Revathi, who was actually raised in the Hindu faith, had fallen in love with a Hindu man. But because of her parents' earlier conversion, she was deemed a Muslim and a judge refused to change her religious status. Revathi's marriage was never recognized by the state, nor was her daughter's birth. Earlier this year, an Islamic Shari'a court ordered her to spend six months at a Faith Rehabilitation Center, where she had to wear a Muslim headscarf and pray five times a day. "The constitution says there's freedom of religion in Malaysia, but I have not felt that freedom," says the 30-year-old homemaker. "How can they force me to believe something I do not believe? What has happened to my country?"

Malaysia commemorated 50 years of independence this past summer, but the celebratory pageantry masked an underlying identity crisis. In many ways, the country is a success story, the very model of a modern Asian nation. Buoyed by oil revenue, capital Kuala Lumpur bristles with skyscrapers and industrial parks, while a massive administrative capital called Putrajaya has risen from what were palm-oil plantations two decades ago. In September, Malaysia's first astronaut blasted into space, his flight mirroring the nation's ambitions. Poverty has been reduced from half the population at independence to just 5% today, as an affirmative-action policy created a prosperous Malay middle class that had never before existed. In Asia, only the nations of Singapore, Japan, South Korea and Brunei rank higher than Malaysia in the U.N.'s Human Development Index. Most impressively, while other multiethnic nations like Yugoslavia, Sri Lanka and Rwanda fractured into conflict, Malaysia has largely kept peace between groups that include Muslim Malays (about 50%); Buddhist and Christian Chinese (roughly 25%); Hindu, Sikh and Muslim Indians (less than 10%); and indigenous peoples, who abide by many faiths including animism (around 10%). "Our biggest achievement is that we have not only survived but we have progressed and thrived," Prime Minister Abdullah Ahmad Badawi told TIME in a written statement in August.

Yet for all these accomplishments, Malaysia is suffering from midlife anxiety. Increasingly, the nation's diverse ethnicities live in parallel universes, all Malaysians, yes, but seldom coming together as they once did for meals or classroom discussions. Religion, too, has divided the nation, as some Malaysians assert that a conservative strain of Islam is causing a segment of the faith's worshippers to withdraw from a multicultural society. Malaysia's economy is being challenged by regional competitors, with many questioning the future of the affirmative-action scheme that has served as the country's financial bedrock. At the same time, a nation that once prided itself on its robust institutions is finding these foundations eroding. Little wonder, then, that up to a million Malaysians, mostly the white-collar talent needed to keep the economy humming, have simply abandoned the country since independence; by the government's own estimate, 70,000 Malaysians, the majority ethnic Chinese, have renounced their citizenship over the past two decades, although far more have emigrated without officially giving up their nationality. Many local companies are leaving, too, investing so much offshore that as much money now leaves Malaysia as is attracted to it. "There's no question we accomplished a lot over the past 50 years," says Ramon Navaratnam, president of the Malaysia office of Transparency International, the corruption watchdog. "But if we don't face up to [our] problems, we will not be able to sustain the same level of success over the next 50 years."

Minority Report
The man who must minister to Malaysia's malaise is Abdullah. When he was handpicked for power four years ago by longtime Prime Minister Mahathir Mohamad, Abdullah was dismissed as a political lightweight. But Abdullah surprised even his harshest critics. He vowed to combat corruption, liberalize the press and restore the reputation of a judiciary whose independence had been repeatedly questioned during the latter part of Mahathir's 22-year rule. To underscore Malaysia's commitment to economic efficiency, Abdullah initially scaled back several of Mahathir's prestige megaprojects, including a money-losing national auto company and a massive dam in Borneo. The son of a moderate Muslim cleric also brought a measure of spiritual authority to the ruling coalition, which had been fighting the rise of an Islamic-based political party that attracted Malay votes even as it alienated non-Malays. "The important thing is that everyone's rights are protected," Abdullah told TIME. "Malaysia is the country that it has become because of the contributions of all the different races and people that populate the country."

But honeymoons don't last forever. Abdullah will almost certainly win re-election in polls expected early next year, because of the well-oiled political machine of the governing National Front, which has dominated the country since independence. Yet the 68-year-old PM's tenure is dogged by the same ills — alleged graft, inefficiency, ethnic and religious rivalry — that he had promised to combat. Questions about Abdullah's leadership came to the fore earlier this year when his deputy, Najib Razak, stunned the country by defining Malaysia as an Islamic state, going so far as to say the country had never been secular. (The nation's constitution is unclear about the issue, stating both that Islam is the religion of the federation and that freedom of religion is guaranteed.) Abdullah told TIME, "We are not a secular state, but neither are we a theocracy." But such hedging seems unlikely to satisfy all constituencies. Liow Tiong Lai, the head of the youth wing of the Malaysian Chinese Association, part of the usually cohesive National Front coalition, asserted that Malaysia was indeed a secular nation. Bernard Giluk Dompok, a minister in Abdullah's Cabinet who is Christian, concurs. "If we define Malaysia as an Islamic state," he told TIME, "the implication is that non-Muslims do not belong."

Abdullah points out that the ruling coalition is composed of parties representing various ethnic communities. "We have adopted a power-sharing formula for over 50 years now, so every community gets a seat at the table when it comes to governing the country," he told TIME. "Everyone participates, and everyone's voice is heard." Many non-Malays don't agree — and their sense of alienation starts early. Government primary schools that used to be essentially secular now feature Islamic prayer halls. Today, only 6% of Chinese parents send their children to such schools, while in the 1970s more than half did. Chinese students have a much harder time securing places in Malaysia's public universities because of quotas, so those with sufficient funds head overseas. Many do not return. Those who do find workplaces are increasingly divided along ethnic lines. "[In the 1970s] there was a bar at Parliament, and we would all socialize together," recalls Lim Kit Siang, the Chinese head of the opposition Democratic Action Party, who has served off and on in Parliament since 1969. "Now, everything is separate, and non-Malays feel like second-class citizens in their own country." Many ethnic Indians, whose economic gains have lagged behind those of Malaysia's other communities, feel the same way. On Nov. 25, thousands gathered under the shadow of Kuala Lumpur's Petronas Towers, the world's tallest twin buildings, for a rare protest to call attention to what they believe is an unwillingness by the government to address the root causes of their marginalization. The demonstrators were dispersed by tear gas; the day before, three rally organizers had been arrested on sedition charges, but were later given a conditional discharge.

A Gap in Wealth
If Malaysia's races are separating, it is partly because of the legacy of the New Economic Policy (NEP), an ethnically based affirmative-action plan instituted in 1971 to create opportunities for the economically disadvantaged Malays. During colonial times, Chinese traders were favored by the ruling British, and they controlled much of the economy upon independence. Malays and indigenous peoples — collectively known as bumiputras, or "sons of the soil" — wanted to redress that economic imbalance. The NEP, which offers preferential treatment to bumiputras in everything from education to politics, has lifted millions of Malays into the middle class. But some analysts argue that the NEP has outlived its usefulness and has been hijacked by a Malay ruling élite that uses the race-based policy to secure sweetheart deals for themselves while leaving poor Malays in the dust. Indeed, the World Bank estimates that despite Malaysia's impressive $10,000 per capita annual income, the country is burdened with the largest income disparity in all of Southeast Asia. "The Malays are being let down by their own people," says Transparency International's Navaratnam, "because the rich are getting richer while the poor are staying the same."

Leading the political charge against the NEP is a Malay, former Deputy Prime Minister Anwar Ibrahim. In 1999, Anwar was jailed for six years on sodomy and corruption charges that human-rights activists characterized as politically motivated. Now he has emerged as de facto leader of the opposition People's Justice Party, which is campaigning to dismantle the race-based NEP and replace it with a class-based scheme that would, say, help poor Indians while preventing rich Malays from taking handouts they don't need. Anwar blames the NEP both for breeding corruption and decreasing competitiveness, since many lucrative state contracts are reserved for bumiputra companies. "Globalization does not treat kindly people who feel as though they must be protected because of injustices from colonial times," says Anwar. "If we don't want to be displaced by an up-and-coming country like Vietnam, we must play by the rules of the global game."

Local rules need to be followed, too, if Malaysia is to continue attracting foreign investment. In September, two Shari'a court officials were detained over corruption charges. In the same month, 1,000 lawyers and activists, including the country's Bar Council president, took to the streets to highlight what they consider deteriorating judicial independence and integrity. Their protest was galvanized by a video clip that appeared to show a well-known lawyer helping fix top bench appointments. (The government says it will set up a royal commission to investigate the video.) "I used to be proud to say I was a Malaysian lawyer," says Karpal Singh, a prominent human-rights lawyer. "But now? The system is getting worse."

Indeed, the courts may actually be exacerbating Malaysia's divisions. Revathi's case is only one of several that have challenged the complicated legal system set up by Malaysia's founding fathers. The country employs a dual-track structure in which Muslims are bound by an Islamic Shari'a court on issues such as family law, while non-Muslims are governed by civil courts. For many years, overlapping issues, as in the case of intermarriage, were quietly negotiated by both courts. But now, Shari'a courts are increasingly refusing to accept conversions out of Islam, arguing that apostasy is illegal in the Muslim faith. At the same time, civil courts have become less willing to rule on religious issues they say are the domain of the Muslim legal system. In a landmark case earlier this year, the nation's highest court decided that it had no jurisdiction to deem a person non-Muslim, because that is the Shari'a courts' prerogative.

The mainstream press has avoided the topic because of a government directive ordering media to maintain "peace and harmony" by blacking out debate over Islam's role in the state. The censorship disappoints journalists who were pleased when Abdullah initially allowed for more freedom of expression than predecessor Mahathir. In October, Malaysia received its worst-ever ranking in the worldwide press-freedom index compiled by watchdog Reporters Without Borders, falling by 32 places to No. 124. The drop was due, in part, to two separate cases in which a blogger and a publisher of an online newspaper were both pulled in for official questioning. "There's lots of intimidation toward people who speak out," says Steven Gan, editor of the online publication Malaysiakini. "Instead of saying, we're all Malaysians who need to unite and equip ourselves against our competitors in a globalized world, the government is pursuing divisive politics and making the media the scapegoat."

Back to the Future
Malaysiakini has continued its aggressive coverage. The online paper has been particularly influential in investigating massive cost overruns in the building of a free-trade zone at Port Klang, not far from Kuala Lumpur. The latest official figures show that the project has ballooned to about $1.4 billion, more than double what was projected in 1999. Critics contend that graft has plagued the project, undercutting Abdullah's much-vaunted anticorruption drive. "Thus far, Abdullah's promises to curb corruption remain just that: promises," says Ramasamy Palanisamy, a former professor of politics at the National University of Malaysia. At the same time, the PM, who once earned plaudits for cutting back Mahathir's excesses, has signed off on several megaprojects, including a reinstatement of the controversial dam in Borneo.

Concerns about corruption could strengthen the political opposition. The Islamic Party of Malaysia gained control of two of Malaysia's 13 states in 1999 after convincing voters that fighting graft was a fundamental Muslim virtue. The party lost power in one of those states three years ago but is predicting a rebound in next year's polls. Anwar's party is optimistic, too, and has been campaigning on a clean-government platform. Realistically, neither opposition party is strong enough to challenge the ruling coalition. But even a few lost seats would be an embarrassment to a governing élite that has controlled the nation since independence.

Under the rule of the National Front, Malaysia has come a long way. Looking back at the past 50 years, Deputy Prime Minister Najib, himself tipped as a possible future leader of Malaysia, told TIME: "We have arrived. It has been an era of transformation in more than one sense: physical, social, economic." But if the next half-century is to be as uplifting, Malaysia will have to heal the divisions that are now all too evident in its society.

— with reporting by Baradan Kuppusamy/Kuala Lumpur

Baca Selengkapnya »»

PETISI UNTUK BADAWI

PETISI UNTUK BADAWI
Sumber: http://www.malaysia-today.net/petisyen_rakyat.html

Bismillaahir-rahmaanir-rahiim

Menghadap ke majlis Seri Paduka Baginda,

Alwathiqubillah Sultan Mizan Zainal Abidin ibni Almarhum Sultan Mahmud Almuktafi Billah Shah, yang bersemayam di atas takhta Kerajaan Malaysia dengan penuh daulat dan kebesarannya serta didoakan senantiasa baginda berada dalam perlindungan Allah yang Mahakuasa dengan dianugerahkan bertambah-tambah lagi kemuliaan serta darjat jua adanya: Amiin Ya Rabbuljaliil.

Ampun Tuanku,

Patik merafak sembah memohon limpah perkenan Tuanku semoga mempersudikan menerima dan menimbangkan warkah rayuan yakni petisyen yang tak sepertinya ini yang dipersembahkan bagi pihak rakyat Tuanku yang peka terhadap kejadian dan keadaan masyarakat yang kian meruncing dan membimbangkan. Patik sekalian mengharapkan perkenan pertimbangan Tuanku yang penuh ihsan dan bijaksana jua demi memelihara dan mengekalkan kesejahteraan , kebajikan dan kebahagiaan rakyat yang taat setia kepada Tuanku.

Ampun Tuanku,

Berikut adalah tajuk dan rayuan yang amat tulus bagi perkenan tatapan Tuanku:

KERAJAAN YANG SEMAKIN LESU BERGELUMANG DALAM RASUAH DI BAWAH KEPIMPINAN DATO' SERI ABDULLAH AHMAD BADAWI, PERDANA MENTERI MALAYSIA

Negara Tuanku sekarang berada dalam keadaan gawat dan tidak menentu masa depannya. Pimpinan Kerajaan makin lesu, tidak teratur, bergelumang dalam rasuah dan komplot politik. Negara tidak lagi bergerak maju dan rakyat sudah merasa jauh ketinggalan berbanding keadaan sebelum ini.

Ekonomi negara digembar-gemburkan oleh Kerajaan sebagai sihat dan melonjak tetapi dari mana dan ke mana terlonjaknya rakyat tidak dapat merasainya.

Politik negara makin tegang dengan tercetusnya berbagai jenis masalah dan komplot yang hampir semuanya tidak menemui penyelesaian yang baik. Rusuhan sudah bermula di sana-sini dan ketegangan perkauman dan keagamaan semakin meningkat.

Ampun Tuanku, izinkan patik menyenaraikan antara keadaan yang ada seperti berikut:

1) Dua rakyat Terengganu telah ditembak oleh Polis baru-baru ini. Kerajaan menutup kes ini dengan menghantar 'hamper' kepada mangsa tembakan. Ke mana lagi rakyat boleh mengadu?

2) Rusuhan dan pembunuhan yang telah berlaku di Kuala Lumpur, Pulau Pinang dan Johor dalam minggu sambutan Ulangtahun Merdeka ke-50. Patik khuatir, jika rusuhan ini sebenarnya tidak mempunyai sebab, melainkan diwar-warkan oleh orang tertentu yang tidak bertanggungjawab.

3) Laporan Ketua Audit Negara yang mendedahkan rasuah dan penyelewengan wang rakyat oleh Kerajaan yang mengakibatkan kerugian berbilion Ringgit. Namun, Laporan Ketua Audit Negara tidak memberi kesan kepada sesiapa pun, terutama sekali kepada Kerajaan. Penyelewengan wang rakyat masih berterusan dari tahun ke tahun, walaupun pendedahan dilakukan saban tahun dalam Laporan Ketua Audit Negara.

RM4.6 bilion wang rakyat telah dibazirkan untuk menutup penyelewengan pembelian tanah di Pelabuhan Klang. Begitu juga lebih RM5.35 bilion telah disalahgunakan dalam pembelian kapal perang bagi tentera laut. Kerajaan langsung tidak pedulikan Laporan Ketua Audit Negara.

4) Polis Di Raja Malaysia sekarang sudah tercemar dengan rasuah dan pengaruh anasir jahat sehingga bekas Ketua Polis Negara Tun Haniff Omar telah berkata lebih 40% pegawai atasan Polis terlibat dalam rasuah.

5) Keluhuran undang-undang dan perjalanan sistem keadilan makin hancur, sepertimana didakwa oleh beberapa Pegawai Polis yang berpangkat, menerusi Pengakuan Berkanun. Mereka mendakwa bahawa kumpulan jenayah besar sekarang sudah mempengaruhi Polis Di Raja Malaysia. Sekali lagi Pengakuan Berkanun oleh Pegawai Polis ini tidak disiasat atau diambil tindakan oleh Kerajaan.

6) Keadaan institusi kehakiman negara juga amat membimbangkan di mana hakim yang lebih berpengalaman dan lebih berkelayakan dipinggirkan manakala hakim yang tidak berpengalaman termasuk hakim yang mempunyai kecacatan dalam rekod perkhidmatan dinaikkan pangkat. Walaupun perkara ini disebut dan dibuktikan di Parlimen, iaitu Dewan tertinggi untuk menyuarakan kebimbangan rakyat, Kerajaan tidak mengendahkannya dan tiada tindakan diambil bagi memperbaiki keadaan.

Sebaliknya, Perdana Menteri yang tidak faham 'separation of powers' telah 'mengarah' Ketua Hakim Negara menyiapkan laporan untuk menjelaskan keadaan. Mengikut Perlembagaan Persekutuan, Perdana Menteri tidak mempunyai kuasa memberi sebarang arahan kepada Ketua Hakim Negara. Tetapi itulah keadaan dalam negara kita sekarang, sehingga Perdana Menteri sendiri tidak faham tatacara Kerajaan.

7) Ketegangan kaum dan agama semakin meruncing dalam negara kita. Laporan rusuhan kaum di Masai, Johor dan di Pulau Pinang dan Kuala Lumpur mewakili rasa ketidakpuasan rakyat yang boleh mencetuskan rusuhan perkauman.

8) Nama Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi tersabit dalam skandal 'Oil-for Food' di Iraq. Nama anak beliau Kamaluddin Abdullah dan syarikat Scomi kepunyaannya tersabit dalam skandal 'nuclear parts for Libya'. Nama anak menantu beliau Khairy Jamaluddin tersabit dalam berbagai percaturan wang (ECM Libra, Equine Capital, Air Asia dan sebagainya). Namun demikian tidak ada tindakan yang diambil terhadap Perdana Menteri atau ahli keluarganya. Ke mana lagi rakyat dapat mengadu?

9) Pilihan raya dipermainkan oleh alat Kerajaan. Pilihan raya kecil mendedahkan penyalahgunaan harta Kerajaan untuk membantu parti politik yang berkuasa. Isu pengundi hantu masih berleluasa sewaktu pilihan raya. Kita perlu memperbaiki sistem pilihan raya yang masih diperalatkan dengan begitu mudah oleh parti memerintah. Rakyat tidak lagi mempunyai tempat untuk mengadu.

10) Kes pembunuhan Altantuya Shaaribuu jelas mendedahkan persubahatan jahat antara pemimpin Kerajaan, pentadbiran Kerajaan, Polis Di Raja Malaysia dan Pendakwaraya. Sehingga kini, saksi Polis telah membawa 'watak lucu' yang langsung tidak serius. Diari siasatan yang hilang, Laporan Polis berlainan mengenai kes yang sama dan persaksian bercanggah yang disengajakan akan memastikan bahawa yang tertuduh akan terlepas daripada dakwaan membunuh. Lebih penting lagi, pembunuh yang sebenarnya langsung tidak akan dihadapkan ke mahkamah.

Rekod keluar masuk mangsa bunuh Altantuya yang sepatutnya disimpan dalam komputer Jabatan Imigresen telah lenyap tanpa sebab yang munasabah. Memandangkan Altantuya tersabit penglibatannya dengan beberapa orang kenamaan dan pemimpin tinggi Kerajaan dalam kontrak pembelian kapal selam bernilai berbilion Ringgit, jelas bahawa tangan yang tercemar berkuasa melenyapkan rekod Jabatan Imigresen dan juga mempengaruhi perjalanan penyiasatan Polis dan Pendakwaraya.

Kebimbangan rakyat tidak terhad kepada sepuluh perkara ini sahaja tetapi senarai ini cukup untuk menyatakan keresahan rakyat Tuanku. Ke mana rakyat Tuanku akan merayu lagi?

Patik sembah mohon Tuanku mendengar rayuan rakyat Tuanku. Patik sembah mohon Tuanku menangani keadaan gawat dalam negara kita.

Patik tidaklah berdatang sembah berseorangan Tuanku. Sebagai bukti patik menyembahkan bagi tatapan dan perhatian Tuanku senarai tandatangan 12,000 orang rakyat Tuanku yang dengan jujur memohon ihsan pertimbangan dan seterusnya untuk menyambut sebarang titah Tuanku jua. Portal MalaysiaToday juga mengumpul tandatangan secara online di :

http://malaysia-today.net/blog2006/Announcements.php?itemid=8467

dan dalam masa 24 jam pertama, telahpun berjaya mendapat 3,000 tandatangan dan jumlahnya terus bertimbun-tambah.

Akhirul-kalam, patik sekali lagi merafak sembah memohon berbanyak kemaafan sekiranya rayuan atawa petition yang tak sepertinya ini menyentuh kalbu Tuanku secara yang tidak menyenangkan, lantaran berlakunya ucapan atawa tulisan bahasa yang terkasar atawa sebarang adab-sopan yang tercacat. Namun yakinilah Tuanku bahawa yang demikian itu bukan disengajakan dan maksud patik hanyalah untuk merayu kepada Tuanku untuk mencampuri urusan yang diperihalkan dalam warkatul-ikhlas ini memandangkan kesemua pintu telah tertutup dan segala laluan untuk menyelesaikan masalah telah terputus.

Sekian tamatnya sembah patik.

Ampun Tuanku dan Daulat Tuanku!

Patik Yang Taat Setia,


Raja Petra Bin Raja Kamarudin
Pengarang Malaysia Today

Bagi pihak lebih dari 12,000 ahli Malaysia Today yang telah menandatangani petisyen ini secara 'online'

Baca Selengkapnya »»

Malaysia Rasis

Malaysia Rasis
Sumber: Time, Kompas, Koran Tempo, Desember 2007


Dakwaan Bermotif Rasial
Protes Antidiskriminasi di Malaysia Terinspirasi Biksu di Myanmar



Kuala lumpur, Rabu - Jumlah warga etnis India yang didakwa percobaan pembunuhan kini menjadi 31 orang.

Jaksa penuntut menuduh 31 orang itu menyerang seorang polisi, Dadi Abdul Rani, saat demonstrasi antidiskriminasi di dekat sebuah kuil Hindu di Batu Caves, 25 November lalu. Mereka juga dituduh merusak properti publik dan berkumpul secara ilegal. Beberapa orang lain dituduh melakukan kerusuhan.

Jika terbukti, para terdakwa bisa dijatuhi hukuman penjara hingga 20 tahun. Pengadilan akan memutuskan apakah dakwaan itu bisa dicabut atau apakah para terdakwa bisa dibebaskan dengan jaminan.

VK Ganesan, pengacara pembela warga etnis India, mengecam dakwaan tersebut dan menyebutnya pelanggaran terhadap hak konstitusional untuk berkumpul dan beribadah. "Ini pertama kalinya dalam sejarah Malaysia bahwa sebuah perkumpulan didakwa percobaan pembunuhan," katanya.

Di hadapan sidang, Ganesan mengatakan, para terdakwa tidak mengenal polisi yang terluka itu secara pribadi sehingga tidak mungkin berniat membunuhnya. "Justru seharusnya polisi yang didakwa percobaan pembunuhan. Ini dakwaan balas dendam. (Dakwaan) ini bermotif rasial dan politis atas etnis India," kata Ganesan.

Ganesan menambahkan, waktu itu, sekitar 500 polisi dikerahkan ke area sekitar pintu gerbang kuil dan menyemprotkan air dan gas air mata ke arah kerumunan orang. Dia menduga polisi masuk ke kuil dan memukuli orang-orang yang tengah beribadah.

Sekitar 3.000 warga etnis India berkumpul di kuil Hindu di Batu Caves menjelang demonstrasi antidiskriminasi. Polisi membubarkan mereka dengan semprotan air dan gas air mata. Polisi juga menangkap 69 orang, meskipun 43 orang kemudian dibebaskan dengan peringatan.

R Sativel, salah satu terdakwa, menuturkan, saat itu dia sedang lewat di dekat kuil dan ingin tahu apa yang terjadi. "Saya hanya lewat di dekat kuil dan meletakkan sepeda saya untuk melihat apa yang terjadi. Saat kembali ke tempat parkir sepeda, saya ditangkap polisi. Bagaimana mungkin mereka mendakwa saya dengan percobaan pembunuhan?" katanya.

Warga etnis India menganggap dakwaan itu tidak adil dan diskriminatif. Mereka juga mengungkapkan kemarahan atas dakwaan pengadilan.

Namun, jaksa penuntut Yusof Zainal Abiden mengatakan, warga etnis India berada di kuil itu untuk berdemonstrasi, bukan beribadah. "Mereka berada di sana untuk demonstrasi. (Dakwaan) ini tidak ada hubungannya dengan dakwaan selektif," ujarnya.

Terinspirasi biksu
Dalam sebuah wawancara dengan Reuters, pengacara P Uthayakumar menyatakan kekhawatiran bahwa dia akan dipenjarakan selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan. Namun, dia menyatakan akan meneruskan perjuangan untuk memenangi kasusnya.

"Ada ketakutan. Perdana Menteri (Abdullah Ahmad Badawi) telah memperingatkan kami bahwa dia akan menggunakan ISA (UU Keamanan Internal) terhadap kami," katanya.

"Kami mengatakan bahwa kami menyuarakan kebenaran. Jika Anda (Pemerintah Malaysia) menggunakan ISA terhadap kami, Anda menindas kami," ujar Uthayakumar. Dia mengungkapkan, aksi demonstrasi menggugat diskriminasi terhadap etnis India di Malaysia yang dimotorinya terinspirasi demonstrasi oleh para biksu di Myanmar menentang junta militer, September lalu.

Bersama sejumlah rekan pengacara, Uthayakumar membentuk organisasi Hindraf yang memberikan pembelaan kepada warga etnis India yang miskin. (ap/afp/reuters/fro)

Baca Selengkapnya »»


VISIT INDONESIA 2008
celebrating 100 years of nation's awakening